REVIEW: INSIDIOUS (2011)

Senin, 20 Juni 2011

| 2 komentar

Seperti judulnya, film ini tersembunyi dan membahayakan. Setelah menonton baru akan mengerti apa yang dimaksud dengan "tersembunyi dan membahayakan" itu. Insidious merupakan karya salah satu anak bangsa Malaysia yang mau tidak mau harus kita acungi jempol. Bagaimana tidak? dia juga lah yang memproduseri, menyutradarai, dan menulis cerita sebuah film fenomenal Saw, dan orang itu dalah James Wan. Dengan mendengar judul Saw saja jelas kita tidak akan meragukan lagi kejeniusan James Wan dalam menggarap film horor thriller bahkan slasher. Sama seperti di Saw, James Wan kembali berkolaborasi dengan Leigh Whannell yang berperan sebagai writer dan salah satu aktor dalam film ini. Jelas Insidious merupakan produk yang patut diperhitungkan oleh banyak pihak dari berbagai sisi.

Kali ini James Wan dan Leigh Whannell bekerjasama dengan para aktor yang juga memiliki kemampuan mumpuni dalam berakting, antara lain Patrick Wilson, Rose Byrne, dan Ty Simpkins yang merupakan salah satu aktor cilik berbakat saat ini.Sebelumnya Wilson dan Simpkins sudah pernah bertemu dalam film Little Children di tahun 2006 lalu. Kini James Wan mencoba mendulang sukses seperti Little Children dengan mempersatukan kembali Wilson dan Simpkins.

"Josh Lambert (Patrick Wilson) bersama dengan Renai Lambert (Rose Byrne) pindah ke sebuah rumah baru. Mereka memiliki tiga orang anak, yaitu Dalton Lambert (Ty Simpkins), Foster Lambert (Andrew Astor), dan adik mereka yang masih bayi. Josh bekerja sebagai seorang guru di kota tersebut dan Renai yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Suatu malam ketika Josh dan Renai sedang menghabiskan waktu bersama dengan Foster dan anak mereka yang masih bayi mereka mendengar jeritan dari salah satu ruangan di lantai atas. Suara itu adalah suara Dalton yang menjerit minta tolong dan ketakutan. Sontak Josh dan renai segera mencari dan menghampiri Dalton. Ternyata saat itu Dalton jatuh dari tangga yang ada di ruangan tersebut. Josh segera menenangkan Dalton dan menemaninya hingga tertidur. Keesokan paginya ketika seluruh anggota keluarga telah berkumpul untuk sarapan hanya Dalton yang masih belum turun. Renai meminta Josh untuk mengecek keadaan Dalton di kamarnya. Pada saat itu Josh menemukan Dalton masih dalam keadaan tertidur. Setelah mencoba beberapa saat untuk membangunkan Dalton dia baru sadar kalau anaknya tidak bangun-bangun juga dari tidurnya. Josh segera memanggil dokter ke rumahnya untuk memeriksa keadaan Dalton. Sayangnya dokter tidak dapat menemukan penyakit Dalton dan tidak mengetahui apa yang salah pada diri Dalton. Sejak saat itu keadaan Dalton dinyatakan koma.
Sejak Dalton berada dalam masa koma Renai dan Josh menemukan bayak hal aneh yang terjadi di rumah mereka. Hingga pada suatu saat Renai menemukan jejak telapak tangan berlumuran darah di seprai tempat tidur Dalton terbaring. Merasa rumah tempat tinggal mereka ada penunggunya membuat Renai meminta untuk pindah rumah lagi kepada Josh. Kedaan tidak menjadi lebih membaik ketika mereka akhirnya memutuskan untuk pindah rumah lagi. Keadaan yang ada justru semakin kacau dan mengerikan. Melihat keluarga anaknya sedang dalam keadaan bahaya membuat Lorraine Lambert (Barbara Hershey) teringat kepada Elise Rainier (Lin Shaye) yang merupakan seorang pemburu dan pengusir hantu. Josh tidak menyia-nyiakan bantuan dari ibunya, maka Elise pun segera menindaklanjuti panggilan dari Josh. Langkah awal yang dilakukan Elise adalah dengan mengirimkan dua orang anak buahnya, yaitu Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson). Setelah mendapat laporan dari kedua anak buahnya, Elise langsung mendatangi rumah Josh dan Renai. Di sana dia mencoba mendapati makhluk halus yang berada di dekat tubuh Dalton. Elaise pun mencoba untuk mendeskripsikan wujud makhluk halus tersebut dengan meminta Specs membuat sketsa makhluk tersebut.
Elise meminta Lorraine untuk ke rumah Josh untuk menjelaskan kepada anak dan menantunya mengenai kisah di balik semua kejadian yang menimpa keluarga mereka selama ini. Mereka tidak memiliki banyak waktu lagi untuk menyelamatkan Dalton, karena semakin lama keadaan Dalton akan semakin melemah dan dapat menimbulkan semakin banyak kekacauan lainnya."

Insidious dapat dikatakan sebagai salah satu karya James Wan yang sukses setelah dia membuktikan dirinya lewat serangkaian film Saw selama ini. Begitu juga dengan Leigh Whannell yang kembali sukses membuktikan dirinya merupakan penulis cerita horor thriller yang dangat handal. Film ini terasa memuaskan bukan hanya dari segi ceritanya saja, tetapi juga dari kualitas visualisasi seluruh cerita yang ditulis Whannell. Insidious benar-benar didukung oleh sound score dan efek visual yang bagus sehingga mampu membangkitkan suasana horor di setiap adegan. Setidaknya saya hampir di sepanjang film berusaha untuk menutup mata (tapi tetap mengintip dari celah-celah tangan :p) ketika saya sudah mulai suudzon hantunya akan muncul lagi, lagi, dan lagi. Bahkan di satu adegan saya sampai berteriak saking kagetnya. Ini merupakan hal yang cukup membuat saya puas dengan film ini, karena sudah jarang saya berteriak-teriak dan ketakutan ketika menonton film horor, bahkan Paranormal Activity pun tidak berhasil membuat saya seperti itu. Well, ekspresi setiap orang memang bisa tidak sama. Ini hanya masalah selera. Wan pun sukses memvisualisasikan wujud makhluk halus dengan sangat menyeramkan. Di beberapa adegan ketika ada sesosok mahkluk halus berwujud anak-anak yang sedang berlari-larian di dalam rumah langsung mengingtkan saya kepada sosok tuyul di film Tusuk Jelangkung, yaitu Turah. Saya harus jujur kalau film tersebut satu-satunya film horor Indonesia yang sangat saya sukai.

Sebelumnya Patrick Wilson pernah berperan yang sedikit hampir sama dengan perannya di film ini yaitu ketika dia memerankan tokoh Eric di Passengers (2008). Menurut saya peran sebagai Josh Lambert lebih menantang dari pada memerankan karakter Eric. Sepertinya karakter Josh itu pengembangan lebih waahhh dari karakter Eric, padahal produser, sutradara, dan penulis kedua film ini berbeda. Wilson pun berhasil membawakan karakter Josh dengan sangat mengalir dan menyatu dengan cerita serta para karakter lainnya. Sedangkan Rose Byrne yang berperan sebagai istrinya juga telah memerankan karakternya dengan sangat baik. Feel sebagai seorang ibu-ibu yang sedang merasa sangat panik melihat keadaan anak, suami, hingga dirinya sendiri sangat kental terasa. Sayangnya saya tidak menemukan chemistry yang kuat dari dua karakter tersebut, Mereka terlihat melebur satu sama lain tapi juga terasa kurang ada klik-nya. Secara keseluruhan sih akting mereka sudah cukup baik dan memuaskan. Salah satu tokoh penting dalam Insidious adalah yang diperankan oleh Ty Simpkins. Bocah laki-laki imut itu pun berhasil mencuri perhatian penonton dengan kemunculannya yang sedikit namun seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa dia merupakan tokoh penting yang kehadirannya sangat mempengaruhi cerita walaupun tidak sebanyak Wilson dan Byrne.

Semua ketegangan yang ditimbulkan Insidious terasa sedikit mengendur ketika karakter Spec dan Tucker muncul. Keberadaan mereka berdua cukup berhasil membuat penonton menjadi sedikit cooling down. Tak jarang tingkah polah Spec dan Tucker dapat membuat penonton tertawa. Hebatnya adalah kemunculan kedua karakter tersebut tidak merusak sisi horor thriller dari Insidious. James Wan dan Whannell berhasil membuat kedua karakter tersebut muncul untuk membuat penonton lebih santai tanpa merusak ketegangan yang tetap menghantui di sepanjang film selanjutnya.

Bagi Anda penyuka film Saw tidak adalah salahnya mencoba karya Wan dan Whannell yang lebih ringan, yaitu Insidious.

Happy Watching..











REVIEW: THE HAUNTING OF MOLLY HARTLEY (2008)

| 3 komentar

Waktu lihat iklannya di salah satu televisi swasta sih terlihat seperti menjanjikan. Kebetulan juga saya belum pernah menonton film ini. The Haunting of Molly Hartley disutradari oleh Mickey Liddell yang selama ini jauh lebih dikenal namanya sebagai produser dari pada sutradara, bahkan film ini pun debut perdananya menjajal di posisi sutradara. Biasanya Liddell menyerahkan bangku sutradara kepada orang lain, tapi tidak untuk filmnya yang kali ini. Mungkin dia sudah lama penasaran untuk mencoba men-direct langsung sebuah film, toh selama ini dia merasa sudah cukup sukses memproduseri beberapa judul film dan TV Series.

Liddell menggaet Halley Bennet dan Chace Crawford sebagai aktris dan aktor dalam The Haunting of Molly Hartley. Miss Bennet lah yang memerankan karakter utama film ini, yaitu Molly Hartley. Sebelumnya kita juga dapat melihat akting Bennet yang menjadi salah satu aktris utama di beberapa film lainnya, seperti dalam film The Hole (2009), Kaboom (2010), dan Arcadia Lost (2010). Sebelumnya Bennet juga telah pernah main di beberapa film sukses seperti Music and Lyrics (2007) dan Marley & Me (2008). Sayangnya di film-film tersebut Bennet tidak mendapatkan peran yang besar. Dalam film ini Bennet berhasil mendapatkan peran utama dan beradu akting dengan Chace Crawford yang lebih dikenal sebagai Nate Archibald dalam serial TV Gossip Girl. Sebelum bermain dalam film ini Crawford sudah pernah beberapa kali bermain film layar lebar dan satu kali TV Movie, sedangkan setelah selesai bermain dalam film ini Crawford hanya pernah satu kali bermain dalam film layar lebar. Sayangnya dari semua film tersebut tidak ada satu pun filmnya yang mendapat sambutan hangat dari para kritikus dan penonton film.

"Molly Hartley (Halley Bennet) bersama dengan ayahnya, Robert Hartley (Jake Webber), baru saja pindah ke sebuah kota kecil di Amerika. Sedangkan ibunya kini sedang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa karena dianggap mengalami gangguan jiwa setelah mencoba membunuh Molly, anaknya sendiri. Di hari pertama Molly bersekolah dia sudah merasakan hal-hal aneh terjadi di sekitarnya. Dia sering merasa pusing, mendengar suara-suara aneh di kepalanya, hingga mimisan. Molly bertemu dengan Alexis (Shanna Collins) yang langsung menjadi salah satu teman baiknya di sekolah baru tersebut. Alexis banyak membantu Molly di sekolah, namun dia juga memiliki satu orang lagi teman baik yang bernama Leah (Shannon Woodward) yang sifat dan penampilannya sangat berbeda jauh dengan Alexis.
Suatu hari di dalam kelas ketika guru sedang menegur Alexis karena tidak ingin menggunakan bible yang dia berikan tiba-tiba saja hidung Molly mengeluarkan darah. Kontan sang guru langsung mengijinkan Molly untuk membersihkan diri di kamar mandi. Di sana Molly merakan kembali hal-hal aneh di sekitarnya. Ketika dia akhirnya tidak tahan lagi dan berteriak di saat itu lah Alexis masuk ke dalam kamar mandi dan menemukan Molly yang terlihat tidak normal. Molly akhirnya pergi menemui Dr. Emerson yang merupakan penasehat akademiknya. Di sana Molly menceritakan mengenai semua hal yang dia alami dan seluruh ketakutan-ketakutannya. Menurut Dr. Emerson tidak ada yang salah dengan Molly, dia menganggap Molly hanya tererkena serangan panik.
Joseph Young (Chace Crawford) yang merasa tertarik dengan Molly pun menaruh perhatian kepada dirinya. Dia bahkan menawari untuk mengantar Molly pulang pada hari itu. Robert tentu tidak tinggal diam melihat putrinya yang semakin hari terasa semakin parah, maka dia memutuskan untuk membawa Molly ke rumah sakit. Di rumah sakit ternyata Molly didiagnosa terdapat tumor kecil di bagian kepalanya. Setelah tumor itu berhasil diangkat Molly tetap merasakan hal-hal aneh itu kembali mendatangi dirinya. Hingga pada suatu hari ketika Molly baru pulang dari sekolah dia menemukan ibunya berada di kamarnya dan mencoba untuk membunuh dirinya lagi. Molly yang merasa sangat panik dan takut pun berusaha untuk melarikan diri dari ibunya, namun justru Molly mendorong jatuh ibunya dari lantai dua dan seketika menewaskan ibunya."

Di awal pembukaan film sudah terlihat sangat mantap dan meyakinkan, namun ketika tiba di inti cerita dari film ini justru terasa sangat flat bahkan terkesan sangat tidak penting. Hal ini terjadi karena Liddell tidak memiliki keahlian dalam men-direct sebuah film. Ketika sampai di inti cerita justru Liddell tidak dapat mengembangkan dan menggali lebih dalam lagi adegan per adegan. Adegan-adegan yang dihadirkan justru terasa seperti setengah-setengah. Sebenarnya Liddell sudah mencoba membawa suasana tegang dalam The Haunting of Molly Hartley. Suasana tersebut memang hadir di beberapa adegan bahkan segala macam sudah dia berikan dalam film ini guna mengeluarkan sisi horornya, mulai dari setting, lighting, hingga audio visual yang sudah cukup baik, tapi karena Liddell tidak menggarap adegan-adegan tersebut dengan matang maka akhirnya menyebabkan film ini menjadi terasa flat. Bagian yang paling parah berada di ending film. Riddell benar-benar sukses memporakporandakan karyanya sendiri bahkan saya tidak pernah menyaksikan film yang memiliki ending sehancur film ini. Poor you, Riddell..

Haley Bennet sudah cukup baik memerankan karakter Molly di sini. Dia bahkan juga berhasil menampilkan emosinya dengan baik dan emosi tersebut dapat ditangkap dengan mudah oleh penonton. Hanya saja karena film ini memiliki kelemahan dalam banyak hal, termasuk dalam hal mengeksplor karakter utamannya membuat Bennet juga menjadi terlihat sulit untuk lebih total lagi berakting dalam film ini. Hal serupa juga terjadi pada Chace Crawford. Setidaknya Crawford masih lebih beruntung karena dia tidak menjadi tokoh sentral dalam film ini seperti Bennet. Sebenarnya Crawford memiliki kemampuan akting yang mumpuni, hal ini terlihat ketika dia bermain dalam Twelve (2010). Twelve sendiri sebenarnya bukan produk yang sukses juga di luar sana, namun melihat Crawford dalam film tersebut membuat saya yakin dia memliki kemampuan akting terpendam yang selama ini masih belum dia keluarkan. Jelas Crawford masih menunggu seseorang yang tepat yang mampu membuat dia mengeluarkan performa terbaiknya dalam berakting, dan Liddell jelas bukan orang yang tepat bagi Crawford.

Dilihat secara keseluruhan maka rasanya sangat wajar jika film ini memiliki rating yang terpuruk di beberapa website, namun bagi Anda yang tetap penasaran dengan The Haunting of Molly Hartley maka tidak ada salahnya untuk tetap menyaksikan film ini.

Happy Watching..









REVIEW: SCOOP (2006)

Jumat, 17 Juni 2011

| 2 komentar

Oh my God... Woody Allen benar-benar jenius. Terhitung sudah puluhan film yang dia tangani, baik sebagai produser, sutradara, hingga penulis cerita. Tidak sedikit juga film-film yang dia tangani penuh merangkap ketiga tugas tersebut bahkan ikut terlibat sebagai pemain dalam film-film yang dia tangani. Allen sudah berkecimpung dalam industri perfilman sejak tahun 1950, dan dia merupakan salah satu tokoh yang sangat saya kagumi dalam industri ini. Kali ini film yang saja saya saksikan adalah Scoop, yang juga ditangani penuh oleh Allen dan dia juga tampil sebgai salah satu tokoh penting dalam keseluruhan cerita Scoop.

Entah kenapa, sepertinya Allen sudah merasa sangat klik dengan Scarlett Johanson. Setelah mengajak Johanson tampil di Scoop, Allen kembali mengikutsertakan Johanson dalam Vicky Christina Barcelona (2008). Memang penampilan Johanson dalam Scoop sangat memuaskan. Hampir sebagian besar film yang dibintangi olehnya dia selalu sukses menurut saya. Hampir tidak pernah saya kecewa dengan akting Johanson. Selain dapat melihat Johanson, kita juga dapat menyaksikan Wolverine dalam casing yang lain. Ya, Hugh Jackman berperan sebgai seorang pria kalangan atas yang sangat terhormat dan disegani serta memiliki ke-charming-an yang tidak dapat dipungkiri oleh para kaum wanita.

"Joe Strombel (Ian Mcshane) seorang jurnalis senior yang mengidap sebuah penyakit yang akhirnya meninggal dunia. Tentu saja banyak yang merasa kehilangan atas meninggalnya Strombel. Di alam kematiannya, arwah Strombel bertemu dengan seseok arwah wanita yang mengaku sebagai asisten pribadi dari Peter Lyman (Hugh Jackman) dan merasa dirinya telah diracuni oleh Lyman hingga dia meninggal dunia.
Arwah Strombel pun mendatangi Sondra Pransky (Scarlett Johanson), seorang mahasiswa yang mengambil jurusan jurnalistik. Pada saat ini Pransky sedang menonton pertunjukkan sulap Sid Waterman (Woody Allen) bersama dengan temannya. Ketika Sid menunjuk Sondra untuk naik ke panggung menjadi relawan dalam trik sulapnya Pransky tidak dapat menolak. Waterman meminta Pransky untuk masuk ke sebuah kotak di mana nanti dia akan menyulap Pransky menjadi menghilang dari kotak tersebut. Di kotak itulah Pransky didatangi oleh arwah Strombel. Strombel menceritakan berita yang dia dapatkan dari asisten pribadi Lyman mengenai siapa  dalang di balik pembunuhan yang saat itu sedang merebak beritanya. Pransky merasa bingung dengan kejadian yang menimpanya dan dia berada di dalam keadaan antara percaya-tidak percaya dengan berita yang baru saja dia dapatkan. Untuk membuktikan kebenaran berita yang dia dapatkan dari arwah Strombel maka pransky meminta bantuan Waterman untuk kembali mengijinkan dia masuk ke kotak sulapnya agar dapat bertemu lagi dengan arwah Strombel. Hal yang mengejutkan pun terjadi, ternyata bukan hanya Pransky saja yang bisa melihat arwah Strombel, Waterman juga dapat melihat Strombel. Dari sinilah terjadi kerja sama antara Pransky dan Strombel. Mereka bersama-sama berusaha membuktikan siapa Lyman sebenarnya."

Scoop memiliki jalan cerita yang unik dan menarik untuk diikuti. Hal ini masih ditambah lagi dengan kekuatan naskah yang ditulis oleh Allen sendiri. Benar-benar dapat menimbulkan gelak tawa di beberapa bagian, bahkan bukan hanya gelak tawa saja yang akan kita dapatkan dari Scoop melainkan kita juga akan merasakan deg-degan dan penasaran mengenai siapa sebenarnya tokoh Lyman. Kekurangan Allen dalam bagian ini hanya pas di akhir cerita terasa cerita seperti terpaksa untuk dipanjang-panjangkan saja. Allen memilih untuk membuat ending yang terasa kurang menggigit dengan memutar-mutar cerita.

Akting Scarlett Johanson membuat saya terpukau dengannya untuk kesekian kali. Jelas Scoop memang bukan film terbaik yang dimainkan olehnya, namun kita juga tidak dapat menghindari kenyataan bahwa Johanson terlihat mampu memainkan karakter Sondra Pransky dengan total. Karakter Sondra Pransky memang terasa masih kurang dinamikanya dari pada ketika dia memerankan tokoh Charlotte di Lost in Translation (2003) dan Pursy Will di A Love Song for Bobby Long (2004).

Scoop bukan pertama kalinya mempertemukan Johanson dengan Jackman. Sebelumnya mereka juga sudah pernah beradu akting dalam film The Prestige (2006). The Prestige sendiri merupakan salah satu film terhebat yang pernah saya saksikan, bahkan film tersebut juga menuai banyak pujian dari para kritikus film. Hugh Jackman sendiri seperti sudah tidak dapat kita pisahkan dari karakter Wolverine yang sudah dia mainkan sejak tahun 2000 lalu. Hebatnya, Jackman ternyata bisa melepas jauh-jauh karakter Wolverine dari dalam dirinya sehingga kita tidak akan melihat dia seperti itu di dalam film-filmnya yang lain. Dalam Scoop pun Hugh Jackman berhasil keluar dari karakter Wolverine. Banyaknya film, genre, peran yang sudah pernah dia mainkan membuat akting Jackman menjadi semakin terasah dan akhirnya dia juga sukses membawakan karakter Peter lyman dengan baik. Namun dalam filmnya kali ini saya masih merasa kalau Jackman seperti kurang lepas aktingnya. Padahal dia menjadi salah satu tokoh utama dalam film ini. Selain itu, karakter Jackman sendiri juga kurang diceritakan dengan lebih mendetail. Allen lebih sibuk menceritakan tokoh Lyman dari segi status sosialnya. Kita tidak dapat melihat bagaimana keseharian Lyman selama ini.

Intinya adalah Scoop merupakan produk karya Allen yang cukup sukses karena dapat menghibur penonton dengan genre-nya yang berani berbeda dengan genre drama komedi romantis lainnya.

Happy Watching..








REVIEW: HANNA (2011)

Kamis, 16 Juni 2011

| 1 komentar

Tidak disangka seorang Joe Wright mampu membuat gebrakan baru dan keluar dari zona amannya dengan menampilkan sebuah sajian film yang fantastis. Kemampuan Wright dalam mengarahkan film-film drama dan romantis sudah dia tunjukkan melalui beberapa karyanya yang sangat dikenal khalayak luas, seperti Pride & Prejudice (2005), Atonement (2007), dan The Soloist (2009). Semua film itu mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari para kritikus film , kecuali The Soloist yang dianggap masih kurang cukup baik dibandingkan dengan dua judul film lainnya.

Dalam menggarap film Hanna kali ini Joe Wright kembali menggaet bintang yang sebelumnya juga sudah pernah bekerjasama dengan dirinya, yaitu Saoirse Ronan. Ronan sendiri sebelumnya juga sudah pernah membintangi film-film yang bisa dikatakan cukup berat untuk bintang seusianya, seperti The Lovely Bones (2009) dan yang ter-gress adalah ketika dia membintangi The Way Back (2010). Bagi Anda yang sudah pernah menonton film-film tersebut pasti mengetahui kalau Ronan memiliki bakat yang luar biasa dalam dunia akting dan dia hanya tinggal menunggu diajak oleh sutradara hebat yang dapat mengeluarkan dan menampilkan kemampuan aktingnya yang luar biasa. Kini nyatanya Saoirse Ronan kembali bertemu dengan Joe Wright yang mampu mengeluarkan dan menampilkan kemampuan aktingnya yang sangat memukau.

"Seekor rusa salju tidak menyadari bahwa dirinya sedang diintai oleh Hanna Heller (Saoirse Ronan) untuk diburu. Ketika sampai di waktu yang tepat maka Hanna langsung menembakkan busur panahnya ke arah rusa itu. Rusa yang tertembak pun langsung berusaha melarikan diri dengan susah payah karena tubuhnya terkena tembakan. Hanna yang megetahui sasarannya masih hidup segera berlari menghampirinya dan terpaksa langsung menembak mati rusa itu.
Hanna tinggal hanya bersama dengan ayahnya, Erik Heller (Eric Banna), yang merupakan mantan anggota CIA. Kini mereka memilih untuk tinggal di daerah pedalaman Finlandia yang selalu diselimuti oleh salju dan jarang terkena sinar matahari. Inilah yang membuat kulit Hanna menjadi sangat pucat, walau begitu Hanna merupakan seorang gadis tangguh yang selama ini telah dilatih oleh ayahnya. Erik melatih Hanna untuk menjadi assassin yang sempurna di umurnya yang masih belia. Dia juga membekali Hanna dengan kemampuan beladiri dengan senjata maupun tanpa senjata, bahkan Erik juga mengajarkan Hanna berbagai macam bahasa.
Tibalah saatnya Erik memberikan tugas kepada Hanna untuk membunuh seorang agen CIA korup yang bernama Marissa (Cate Blanchett). Hanna sudah sempat tertangkap oleh para agen CIA ketika dia sedang seorang diri berada di rumahnya. Mereka tidak dapat menahan Hanna cukup lama karena Hanna berhasil kabur dan meloloskan dirinya dari sarang CIA. Jadilah Hanna berkeliling Eropa guna menghindari kejaran CIA dan mencari jati dirinya yang sesungguhnya.
Dalam masa pelariannya itu Hanna bertemu dengan seorang gadis centil seumurannya yang sedang berlibur bersama dengan keluarganya. Semakin lama Hanna semakin dekat dengan gadis itu dan keluarganya, namun Hanna menyadari kalau keselamatan keluarga itu jadi ikut terancam karena dirinya. Akhirnya Hanna memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan keluarga itu dan kembali mencari jati dirinya. Semakin lama keselamatan Hanna semakin berbahaya pula, karena kini bukan hanya dirinya saja yang diincar untuk ditangkap oleh CIA, keselamatan ayahnya juga sedang diujung tanduk."

Selesai menyaksikan Hanna saya merasa sangat puas dengan sajian yang diarahkan oleh Joe Wright. Dia benar-benar berhasil keluar dari zona amannya selama ini dan membuktikan bahwa dirinya mampu membawakan sebuah film action thriller dengan memenuhi semua ekspektasi dari para penikmat genre film ini. Tentu saja Wright tidak bekerja sendirian, semua pihak yang terlibat dalam film ini mampu membawa film ini menjadi suatu suguhan yang mengesankan bagi para penontonnya.

Dengan alur cerita yang terasa pas, tidak terlalu cepat dan juga lamban, serta ditambah dengan teknik pengambilan gambar, sinematografi, dan musik score yang ciamik sangat membantu visualisasi film ini menjadi sangat terasa feel-nya. Joe Wright tidak hanya menggambarkan sisi liar dan buasnya Hanna saja, tapi dia juga berhasil menampilkan sisi lembut dan manusiawi yang ternyata masih ada dalam diri Hanna. Di beberapa adegan Wright mampu membuat penonton juga merasakan sisi kemanusiaan dari seorang Hanna yang selama ini lebih dicitrakan sebagai seorang assassin yang terlatih dengan sempurna. Hebatnya lagi adalah Wright tidak membuat film ini menjadi terlalu dramatis ketika dia mencoba menampilkan sisi lembut dari seorang Hanna. Padahal jika dilihat dia mempunya kesempatan untuk membuat film ini menjadi lebih mellow ketika menampilkan sisi lembut tersebut.

Akting dari para pemainnya pun terhitung sangat sukses. Eric Bana mampu membawakan karakter seorang ayah yang berhasil melatih putrinya menjadi seorang assassin dan bagaimana dia juga berusaha untuk melindungi Hanna dari kejaran para agen CIA. Karakter seperti ini mungkin emmang bukan hal baru lagi bagi Bana yang sebelumnya juga sudah pernah bermain dalam film-film aksi, seperti Black Hawk Down (2001), Hulk (2003), Troy (2004), dan Star Trek (2009). Sedangkan Cate Blanchett yang memerankan seorang agen CIA korup yang diburu oleh Hanna juga mampu menampilkan kualitasnya dengan baik. Blanchett selama ini dikenal baik sebagai aktris yang sudah sangat terbiasa dengan film drama. Kali ini Blanchett juga mencoba untuk keluar dari zona amannya dengan bermain di film aksi. Yaaa...memang tidak seberapa sih aksi yang dia tampilkan dalam film ini, tapi cukup lumayan lah dapat melihat Blanchett menggunakan senjata api dengan cukup baik.

Satu tokoh yang tentu saja menjadi pusat perhatian dari film ini adalah Hanna yang diperankan oleh Saoirse Ronan. Dari beberapa film sebelumnya yang juga sudah pernah dibintangi olehnya saya merasa suatu saat dia akan menjadi it girl dalam industri ini. Jelas tidak mudah untuk memerankan karakter Hanna, dibutuhkan keahlian-kehalian khusus untuk mendukung aktingnya dalam film yang satu ini. Kenyataannya Ronan berhasil membuktikan dirinya layak untu dipercaya memerankan karakter-karakter berat yang tidak mudah untuk dilakoni anak seusianya.Ronan mengingatkan saya pada kekuatan akting yang juga dimiliki oleh Dakota Fanning. Tidak banyak anak-anak di usia mereka mampu bermain dalam film yang memiliki cerita cukup berat seperti ini, namun buktinya mereka mampu bermain dengan cantik dalam film-film yang dianggap berat untuk anak seusia mereka. Karakter Hanna juga mengingatkan saya pada karakter Hit Girl di Kick-Ass (2010). Mereka sama-sama dilatih ayahnya sejak kecil untuk menjadi pembunuh yang sangat berbahaya. Tentu saja Saoirse Ronan dan Chloe Moretz memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam memerankan karakter gadis pembunuh.

Bagi Anda yang penasaran dengan kemampuan akting Saoirse Ronan, serta ingin melihat hasil karya Joe Wright yang berbeda dari biasanya maka Hanna menjadi wajib untuk Anda saksikan.

Happy Watching..







REVIEW: ELEPHANT WHITE (2011)

Rabu, 15 Juni 2011

| 1 komentar

Pertama kali saya mengira Elephant White merupakan salah satu film produksi Hollywood, namun setelah saya tonton saya baru sadar kalu film ini 100% karya anak bangsa Thailand. Prachya Pinkaew yang sebelumnya juga telah sukses mengangkat nama Thailan di kancah perindustrian film internasional lewat film yang dia garap berjudul Ong-bak (2003) kini kembali hadir dan mencoba menembus pasar internasional lagi lewat film Elephant White dengan menempatkan dua bintang Hollywood di dalam filmnya. Kita dapat melihat akting Djimon Hounsou di sepanjang film yang juga ditemani oleh Kevin Bacon yang berperan sebagai seorang penjahat pemasok senjata api.

"Pekerjaan membunuh orang bagi Curtie Church (Djimon Hounsou) adalah pekerjaan yang mudah, karena ini merupakan pekerjaan dia sehar-hari. Church merupakan seorang pembunuh bayaran yang sangat profesional dalam menjalankan aksi membunuhnya. Dengan keahliannya ini maka tidak heran banyak yang tertarik untuk menggunakan jasa Church untuk membunuh.
Kali ini Church disewa oleh Rajahdon (Sahajak Boonthanakit) untuk membunuh orang-orang yang telah menculik dan membunuh putrinya yang baru berusia 14 tahun. Putri Rajahdon tersebut diculik dan dibunuh oleh sekelompok orang yang biasa melakukan perdagangan dan pelacuran anak di bawah umur. Church menyangka bahwa tugas yang dia dapatkan kali ini sama dengan tugas-tugas sebelumnya yang telah berhasil dia selesaikan, namun ternyata di balik semua ini terdapat rahasia besar yang akhirnya juga berhasil diungkap oleh Church.
Dalam menjalankan tugasnya kali ini, Church dibantu oleh Jimmy The Brit (Kevin Bacon) untuk memasok persenjataan yang sangat dibutuhkan olehnya. Disaat Church tengah menjalankan tugasnya, muncul lah sesosok wanita misterius yang bernama Mae (Jirantanin Pitakporntrakul) yang terlihat sangat berusaha melindungi Church ketika menjalankan tugas-tugasnya.
Ketika Church merasa tugasnya sudah selesai dia menemukan sebuah kenyataan yang cukup sulit dipercaya mengenai siapa sebenarnya Mae dan konspirasi pembunuhan yang ternyata juga melibatkan orang-orang dalam geng yang menyewa dirinya selama ini."

Elephant White mencoba hadir dengan menyajikan fenomena perdagangan manusia yang marak terjadi di Thailand. Dengan jalan cerita yang cenderung sederhana, Prachya Pinkaew cukup sukses membuat film ini menjadi terasa sedikit luar biasa dengan diselingi oleh adegan-adegan aksi yang menghibur dari Djimon Hounsou. Tapi sebenarnya jika dilihat dari kualitas aksinya film ini terasa berada lumayan jauh dari kualitas aksi yang ditawarkan dalam film Ong-bak.

Keberanian Prachya untuk menempatkan Djimon Hounsou dan Kevin Bacon dalam filmnya kali ini dapat kita anjungi jempol, karena nama kedua artis ini sendiri telah berhasil menjadi daya tarik tersendiri orang-orang yang menonton film ini. Salah satunya adalah saya sendiri. Saya tertarik menonton film ini karena ada nama kedua aktor tersebut yang merupakan aktor andalan Hollywood untuk film-film aksi. Selain itu, bagi para penikmat film yang awam seperti saya akan mengira Elephant White merupakan film produksi Hollywood karena di poster filmnya memang hanya memfokuskan kepada wajah Hounsou dan Bacon dan bergaya ala poster film Hollywood. Salah satu kebiasaan saya ketika menonton film adalah saya tidak pernah mencari tahu lebih dalam mengenai film-film yang akan saya tonton. Saya lebih cenderung langsung on the spot saja ketika akan menonton di bioskop.

Walaupun Prachya terlihat sukses dengan menempatkan Hounsou dan Bacon dalam Elephant White namun Prachya justru terlihat kehilangan taringnya dalam mengemas adegan aksi dalam filmnya kali ini. Hounsou sebenarnya telah bermain dengan sangat baik memerankan tokoh Curtie Church di sini tetapi jika dibandingkan dengan kualitas aksi yang ditampilkan Tony Jaa dalam Ong-bak maka Elephant White terasa menurun kualitasnya. Begitu juga dengan kualitas film secara keseluruhan yang menurut saya memang masih belum bisa bersaing dengan film-film Hollywood, karena film ini bisa dikatakan masih belum cukup rapi di banyak sisi.

Bagi Anda yang ingin menyaksikan sebuah film berkualitas karya anak-anak Asia lagi, maka Elephant White wajib Anda saksikan.

Happy Watching..








REVIEW: 10 PROMISES TO MY DOG (2008)

Senin, 13 Juni 2011

| 3 komentar

Film -film berkualitas di Asia bukan hanya dikuasai oleh Korea saja melainkan Jepang juga memiliki andil dalam memajukan dunia perfilman Asia saat ini. Berbagai judul film sudah sukses Jepang buktikan kepada dunia mengenai kualitas mereka. Tentu saja ini menjadi perhatian sendiri dari para pengamat dan penikmat film di seluruh dunia. Ketika mendengar mengenai film Jepang yang langsung terlintas di otak saya adalah film horor. Ya, bukan rahasia lagi kalau Jepang sangat menguasai pangsa pasar film horor di Asia, bahkan tidak sedikit film horor Jepang yang akhirnya diadaptasi oleh para pelaku film Hollywood.

Kekuatan perfilman Jepang juga terlihat dalam film-film ber-genre drama, berbagai macam film drama mereka telah berhasil mencuri perhatian dari banyak penonton, sebut saja seperti 1 Liter of Tears (2005) yang sudah dibuat ke dalam dua versi yaitu TV Series dan layar lebar, For You in Full Blossom (2007), Boys Over Flowers (2005), Boys Over Flowers 2 (2007), dan masih banyak lagi. Kali ini 10 Promises to My Dog pun telah mencuri perhatian penonton, termasuk saya.

"Akari Saito (Mayuko Fukuda & Rena Tanaka) merupakan anak semata wayang yang merasa kurang mendapatkan perhatian dari ayahnya yang bekerja sebagai dokter. Ketika hari ulang tahunnya tiba Akari berharap ayahnya dapat pulang lebih awal untuk merayakan hari ulangtahunnya di rumah, namun karena suatu hal ayah Akari tidak dapat menemani dirinya merayakan ulangtahun. Akari yang merasa sangat kecewa dan kesepian akhirnya meminta ijin kepada ibunya untuk memelihara anjing sebagai hadiah ulangtahunnya. Permintaan Akari tidak terlalu ditanggapi oleh ibunya.
Beberapa hari kemudian, ibunya Akari masuk rumah sakit yang mengharuskannya dirawat dalam jangka waktu yang cukup lama. Tentu saja ini membuat Akari semakin merasa kesepian di rumah, namun Akari berusaha lebih kuat dengan tidak banyak mengeuh kepada ibu dan ayahnya. Suatu pagi, ketika Akari sedang berberes rumah dia melihat ada seekor anak anjing di pekarangan belakang rumahnya. Akari berusaha menangkap anjing tersebut untuk memeliharanya. Ketika dia berhasil menangkapnya Akari membawa anjingnya diam-diam ke rumah sakit untuk menunjukkan kepada ibunya. Ibunya Akari juga merasa sangat bahagia dan lega melihat anaknya yang sangat bahagia dengan kedatangan anjing tersebut. Ketika mereka sedang duduk-duk dan mengobrol di taman rumah sakit, Akari menanyakan pendapat ibunya untuk menamai anak anjingnya. Lalu sang ibu memberi ide untuk memberi nama Socks kepada anjingnya. Selain memberi nama kepada anjing itu, sang ibu juga memberikan nasihat kepada Akari mengenai "10 Promises to My Dog". Akari mendengarkan dengan seksama sembari mencoba untuk memahami penjelasan dari sang ibu. Akari berjanji kepada ibunya untuk memenuhi 10 janji terhadap anjing peliharaannya kini.
Hari-hari Akari terasa semakin berat ketika akhirnya sang ibu meninggal dunia. Kini dia hanya tinggal bersama dengan ayahnya yang sibuk dan juga seekor anjing. Socks memenuhi hari-hari Akari dengan kebahagiaan dan Akari pun terlihat sangat mencintai dan tidak ingin kehilangan Socks. Keadaan akhirnya memaksa Akari untuk meninggalkan Socks di rumah seorang sahabtnya dikarenakan Akari harus ikut bersama ayahnya yang dipindah tugaskan ke sebuah daerah baru di mana di tempat tinggalnya tersebut tidak diperbolehkan untuk memelihara binatang. Bukan hanya Akari yang merasa sangat kehilangan, ternyata Socks pun merasakan kehilangan Akari.
Suatu hari Akari mendapatkan kabar kalau temannya yang dititipkan Socks akan pergi melanjutkan studinya ke luar negeri dan memaksa Alari untuk mengambil dan merawat Socks lagi. Terang saja Akari merasa sangat bahagia dan meminta ayahnya untuk menemaninya mengambil Socks di rumah temannya. Sejak saat itu Socks tinggal bersama dengan Akari lagi dan selalu menemani kehidupan Akari. Keadaan Akari yang semakin hari semakin tumbuh dewasa membuat Akari menjadi punya segudang kegiatan yang sangat menyibukkan dirinya sendiri. Hal ini berakibat semakin jauhnya hubungan Akari dengan Socks. Socks bukan lagi menjadi pusat perhatian Akari, bahkan Socks cenderung lebih di kerasin oleh Akari selama beberapa waktu. Tak terasa usia Socks pun semakin tua dan membuat fisiknya melemah. Sayangnya ketika Socks semakin melemah justru Akari sedang cuek-cueknya dengan Socks. Sampai suatu hari ayah Akari menelepon dirinya memberitahu keadaan Socks yang sudah tidak dapat bertahan lama lagi dan hal ini membuat Akari menjadi seperti baru tersadar kalau anjing kesayangannya selama ini memang sudah tidak dapat bertahan hidup lebih lama lagi. Akhirnya Akari memutuskan untuk pulang demi menemani Socks melewati waktu-waktu terakhirnya. Pada saat itu lah Akari menyadari betapa jahatnya perlakuan dia belakangan ini terhadap anjingnya tersebut. Akari diberikan sebuah buku oleh ayahnya yang ternyata buku itu adalah pemberian khusus dari ibunya mengenai 10 Promises to My Dog. Ketika Akari membaca satu per satu janjinya yang seharusnya dia penuhi terhdap Socks itu membuat dirinya tak kuasa menahan air mata. Namun semua sudah terjadi dan Socks sudah tiba pada waktunya untuk tidak dapat bertahan hidup lagi."

Dari temanya saja sudah jelas bahwa Socks lah yang menjadi salah satu pemeran utama dalam film ini dan dia jugalah yang menjadi pusat perhatian di sepanjang film. Semua tingkah lakunya yang lucu dan jenaka mampu membuat orang yang menontonnya merasa ikut gemas dengan dirinya. Pengorbanan dan kesetiaan Socks selama ini kepada Akari juga berhasil menyentuh hati para penonton. Apalagi adegan ketika Socks sudah akan meninggal, adegan ini  lah yang paling menguras emosi dan air mata. Selain adegan itu rasanya tidak ada lagi yang dapat membuat saya meneteskan air mata. Namun harus diakui walau saya tidak banyak meneteskan air mata film ini tetap mampu membuat emosi saya menjadi galau karena menontonnya. Banyak adegan yang menyentuh selama Socks menemani hari-hari Akari yang kesepian.

10 Promises to My Dog juga didukung oleh naskah yang cukup baik dan ringan namun sarat akan makna di beberapa dialognya. Selain itu, Katsuhide Motoki yang duduk dibangku sutradara pun mampu menyatukan para pemainnya dengan sang anjing yang juga dijadikan salah satu tokoh utama. Emosi yang dirasakan penonton bukan hanya ketika Socks berhubungan dengan Akari saja, tetapi juga ketika Socks berhubungan dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Sinematografi dalam 10 Promises to My Dog juga mampu menampilkan pemandangan di beberapa tempat dengan sangat baik, salah satunya adalah ketika Socks diajak berjalan-jalan bersama Akari dengan ditemani oleh seorang teman Akari yang juga membawa anjing peliharaannya.

Chemistry antara Socks dengan Mayuko ataupun Renata sangat terasa kental dalam film ini. Sayangnya karena Socks tidak semenderita Hachiko maka membuat film ini masih terasa agak jauh sedihnya dibanding dengan film Hachiko. Overall, film ini sama-sama telah menggambarkan dengan sangat baik mengenai hubungan yang kuat antara manusia dengan anjing peliharaannya. Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana setianya seekor anjing terhadap majikannya dan gambaran mengenai bagaimana seharusnya kita memperlakukan anjing peliharaan.

Film ini cocok sekali untuk disaksikan oleh semua umur karena film ini ringan, mudah diikuti, dan sarat akan pesan di dalamnya.

Happy Watching...









It's About What???

2006 (3) 2007 (1) 2008 (5) 2009 (4) 2010 (37) 2011 (43) 3D (4) Academy Awards (2) Action (13) Adam Sandler (1) Adventure (1) Alex Pettyfer (1) Amanda Seyfried (3) Amber Heard (2) Amy Adams (1) Andrew Garfield (1) Angelina Jolie (1) Anne Hathaway (2) Ashton Kutcher (1) Asian (6) Ben Affleck (2) Ben Stiller (1) Biography (4) Blake Lively (1) Bruce Willis (2) Cam Gigandet (1) Cameron Diaz (1) Chloë Moretz (1) Chris Cooper (1) Chris Pine (1) Christian Bale (1) Christina Aguilera (1) Christina Ricci (1) CIA (1) Colin Firth (1) Comedy (10) Crime (11) Dakota Fanning (1) Dance (1) Daniel Radcliffe (1) Denzel Washington (1) Documenter (1) Drama (49) Drew Barrymore (2) Dustin Hoffman (1) Dwayne Johnson (1) Education (1) Emma Roberts (1) Emma Watson (1) Erotic (1) Facebook (2) Family (16) Fantasy (11) Fiction (4) Game (1) Game Online (1) Geoffrey Rush (1) Gerrard Butler (1) Halle Berry (1) Han Ji-Hye (1) Hayden Panettiere (1) Helena Bonham-Carter (1) History (1) Horror (20) India (1) Jake Gyllenhaal (1) Jalan-jalan (1) Jason Statham (1) Jennifer Aniston (1) Jennifer Lopez (1) Jepang (2) Jesse Eisenberg (2) Jessica Alba (1) Johny Depp (1) Josh Duhamel (1) Julia Roberts (1) June (1) Justin Long (2) Justin Timberlake (1) Kate Beckinsale (1) Katherine Heigl (1) Keira Knightley (1) Kevin Costner (1) Kristen Bell (2) Lee Chun-Hee (1) Lee Hwi-Hyang (1) Leighton Meester (1) Liam Neeson (1) Life As We Know It (2) Lippo Cikarang (1) Little Fockers (1) Logan Lerman (1) Ludacris (1) March (1) Mark Wahlberg (1) Mark Zuckerberg (1) Mary-Kate Olsen (1) Michelle Williams (1) Mila Kunis (1) Morgan Freeman (1) Movie (64) Movie Release (3) MTV Movie Awards (1) Musical (1) Mystery (11) Naomi Watts (1) Natalie Portman (2) Nicholas Cage (1) Nicole Kidman (1) November (1) Oscar (2) Owen Wilson (2) Psikologis (3) Ray Winstone (1) Rebeca Hall (1) Review (61) Robert De Niro (2) Romance (14) Rosario Dawson (1) Rupert Grint (1) Russel Crowe (1) Ryan Gosling (1) Ryan Reynolds (1) Sam Rockwell (1) SciFi (3) Sean Penn (1) South Korea (3) Sport (1) Synopsis (10) Thailand (1) Thriller (25) Tommy Lee Jones (1) Vanessa Hudgens (1) Waterboom (1)

Count Me In....

Diberdayakan oleh Blogger.
 
blog-indonesia.com