REVIEW: SCRE4M (2011)

Selasa, 31 Mei 2011

| 0 komentar

Wes Craven akhirnya memenuhi permintaan para fans film Scream untuk membuat kelanjutan cerita mengenai Sidney Prescott yang selalu dikejar-kejar oleh Ghostface. Scream pertama kali muncul pada tahun 1996, lalu Wes meneruskan cerita mengenai Sidney pada tahun 1997 (Scream 2) dan tahun 2000 (Scream 3). Butuh waktu selama 11 tahun untuk kembali menggarap cerita keempat film ini.

Sepak terjang Wes sendiri sudah tidak perlu dipertanyakan lagi dalam dunia perfilman khususnya film horor dan slasher. Seluruh film Scream sebelumnya pun digarap langsung oleh Wes. Selain Scream tentu kita juga mengetahui film The Hills Have Eyes  (1977, 1985, 2006, & 2007), A Night Mare on Elm Street (1984, 1985, 1987, 1988, 1989, & 2010), Freddy VS Jason (2003), Freddy VS Ghostbusters (2004), Pulse (2006), dan masih banyak lagi yang merupakan film-film yang ditangani oleh Wes. Dari sini sudah sangat jelas bahwa Wes merupakan spesialis film horor dan slasher.

Tentu saja dalam Scre4m kali ini tokoh yang menjadi pusat utamanya adalah Sidney Prescott (Neve Campbell). Kali ini Scre4m pun dihujani oleh beberapa bintang papan atas, seperti Hayden Panettiere, Kristen Bell, Anna Paquin, Emma Roberts, Courtney Cox, dan David Arquette. Dengan jajaran nama bintang tersebut membuat para fans Scream menjadi semakin penasaran dengan film yang keempat ini, walau beberapa nama beken di atas hanya muncul beberapa detik.

"Sidney Prescott kini memutuskan untuk kembali ke kota asalnya, yaitu Woodsboro, setelah 15 tahun dia meninggalkan kota tersebut. Kembalinya Sidney ke Woodsboro juga salah satunya dikarenakan dia hendak mempromosikan buku yang baru dia selesaikan. Buku tersebut mengisahkan mengenai pengalamannya selama ini yang selalu didatangi oleh Ghostface.
Ketika Sidney sedang melakukan promosi bukunya, Dewey Riley (David Arquette) memberhentikan acara Sidney karena menduga Ghostface pun telah kembali menteror di Woodsboro. Melihat adanya pembunuhan terhadap siswa high school di sana maka Dewey pun memutuskan untuk memberikan perlindungan kepada Sidney dan keluarganya. Di kota itu Sidney tinggal bersama dengan sepupunya yang memiliki seorang anak gadis, yaitu Jill Roberts (Emma Roberts).

Pada malam itu Jill mengajak Kirby Reed (Hayden Panettiere) untuk menginap di rumahnya. Ketika mereka sedang menghabiskan waktu dengan menonton di kamar Jill tiba-tiba mereka mendapatkan telepn teror yang diduga sebagai sang pembunuh. Dalam sekejap mereka melihat langsung kejadian ketika Olivia Morris (Marielle Jaffe) dibunuh dengan sangat sadis di kamarnya yang terletak tepat diberang kamar Jill.
Semakin lama teror pun semakin menjadi-jadi dan membuat Sidney tidak dapat lagi menghindar dari Ghostface yang selamaini mengincarnya. Selain itu, Sidney pun harus menerima kenyataan pahit untuk kesekian kalinya mengenai pelaku sebenarnya yang selama ini bersembunyi di balik topeng Ghostface tersebut."

Scre4m kali ini memang tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam segi cerita maupun adegan-adegan slasher yang ditampilkan. Wallaupun Wes Craven memang sudah dapat disebut sebagai 'bapaknya film horor dan slasher' namun kenyataannya Wes tetap menampilkan Scre4m dengan kesan yang monoton. Semua adegan tegang dan slasher-nya dapat kita lihat di film-film horor dan slasher lain. Satu-satunya yang membuat film ini mempunyai daya tarik adalah..........karena ini film Scream. Dengan tokoh Sidney yang tentu kisahnya juga sudah sangat familiar oleh para pecinta film horor maka dapat dengan mudah membuat Scre4m kali ini terdongkrak popularitas serta pendapatannya.

Ending yang ditawarkan dalam Scre4m memang tidak mengecewakan, bahkan saya tidak menduga salah seorang yang menjadi penjahatnya. Namun sayangnya ketika film sudah sampai bagian di mana Sidney dikejar-kejar oleh Ghostface di rumah Kirby sebenarnya jalan cerita mengenai siapa yang berada di balik topeng jahat tersebut sudah menjadi jelas terbaca. Namun hal ini memang mebutuhkan sedikit kejelian dari mata para penontonnya. Walau tidak ada yang spesial dalam segi keseluruhan ceritanya namun saya tetap menyukai Scre4m karena film ini tetap berhasil membuat saya kaget beberapa kali.

Karakter Sidney kali ini memang tidak mendapatkan peran terlalu banyak namun hebatnya Wes tetap dapat menjaga keseimbangan karakter Sidney antara karakter lain yang justru mendapatkan porsi lebih banyak dalam film ini. Neve Campbell sebagai pemeran Sidney juga sudah tidak sepatutnya diragukan aktingnya. Dia sangat menyatu dengan karakter Sidney. Walau film ini telah menghilang sekian lama namun Neve tetap bisa menampilkan kembali karakter Sidney dengan baik. Selanjutnya yang menjadi perhatian utama saya dalam film ini adalah akting dari Emma Roberts dan Hayden Panettiere. Wow.....saya rasa two thumbs up layak diberikan ke mereka, karena akting mereka tidak mengecewakan, terutama Emma Roberts.

Untuk para penggemar film horor dan slasher Scre4m memang dapat menjadi salah satu tontonan yang menarik yang bisa disaksikan, terutama untuk para fans film ini.

Happy Watching...










REVIEW: AFTER.LIFE (2011)

Minggu, 29 Mei 2011

| 4 komentar

Bagaimana rasanya jika seseorang disekeliling kita menganggap diri kita telah mati padahal sebenarnya kita sendiri masih percaya diri kita bernyawa? Hal ini inilah yang coba diangkat Agnieszka Wojtowicz-Vosloo dalam film After.Life. Agnieszka juga telah menetapkan nama-nama pemain kelas atas Hollywood, antara lain Christina Ricci, Liam Neeson, dan Justin Long. Hmmm...melihat jajaran daftar nama pemainnya seperti sudah menjanjikan jaminan kualitas. After.Life dirilis pada 26 Agustus 2010 di Netherlands.

"Setelah mengalami kecelakaan mobil, Anna Taylor (Christina Ricci) dinyatakan tewas oleh dokter di rumah sakit tempat dia dibawa. Jenazah Anna diserahkan kepada Eliot Deacon (Liam Neeson) untuk 'dirapikan'. Pacar Anna, Paul Coleman (Justin Long), merasa bersalah atas terjadinya kecelakaan tersebut. Hal ini dikarenakan Paul membuat Anna marah dan pergi meninggalkannya pada saat malam terjadinya kecelakaan. Paul yang mengetahui Anna berada di rumah Eliot berusaha untuk melihat jasad Anna, karena dia tidak percaya kalau Anna telah meninggal. Namun Eliot tidak mengijinkan Paul untu melihat jasad Anna.
Anna sendiri bingung mendapati dirinya yang berada di sebuah ruangan bawah tanah dan mendapati kenyataan bahwa dia sudah tewas dan hanya Eliot yang dapat melihat serta berbicara dengan dia. Anna telah melakukan berbagai hal untuk membuktikan dirinya masih hidup. Namun dia tidak mempunyai banyak waktu, dia hanya mempunyai waktu hingga sebelum hari pemakamannnya tiba untuk berhasil membuktikan dirinya tidak meninggal.
Anna terjebak di dalam rumah Eliot hingga akhirnya dia menyerah dan berusaha menerima kenyataan dirinya yang telah meninggal. Hingga akhirnya hari pemakan dia tiba dan Paul yang masih terus berusaha membuktikan kebenaran dibalik kematian Anna justru malah berakhir dengan kecelakaan yang menimpa dirinya. Sama seperti ketika Anna, Eliot dibawa dan ditangani oleh Eliot hingga hari pemakamannya tiba."

Jalan cerita After.Life sebenarnya sedikit lebih fresh dari pada film-film lainnya yang ber-genre sama. Hal ini menjadi salah satu nilai tambah dan berhasil membangkitkan rasa penasaran penonton. Sayangnya alurnya terlalu lambat membuat setiap adegan terasa lama. Dengan penampilan akting dari para pemainnya juga berhasil mengangkat film ini menjadi daya tarik tersendiri.

Christina Ricci yang sudah cukup lama menghilang dari layar lebar di Indonesia akhirnya dapat kita lihat kembali penampilannya dalam After.Life. Sedangkan Liam Neeson dan Justin Long masih lebih sering berwara-wiri di layar lebar Indonesia dengan filmnya masing-masing. Saya rasa kualitas akting mereka bertiga sudah cukup mantap dan pantas untuk dipertimbangkan. Setidaknya dengan adanya nama-nama mereka dalam sebuah produksi film akan memberikan sedikit jaminan kepada para penonton mengenai kualitas film yang mereka mainkan. Kali ini dalam After.Life mereka harus bekerja sama dengan Agnieszka yang berperan sebagai sutradar dan penulis naskah. Agnieszka sendiri masih sangat sedikit pengalamannya dalam dunia perfilman. Sebelum menggarap After.Life, Agnieszka hanya memiliki pengalaman satu kali sebagai sutrada dan penulis naskah juga dalam sebuah film pendek yang berjudul Pâté (2001). Film tersebut dianggap sebagai salah satu film pendek yang luar biasa dan mendapat banyak pujian dari kritikus film. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi pada After.Life. Film ini justru mendapat beberapa kritikan pedas dari para kritikus film.

Jika dilihat dari sound effect, teknik pengambilan gambar, maupun sinematografinya memang masih terasa biasa-biasa saja. Namun juga bukan berarti membuat film ini menjadi suatu sajian yang buruk. Setidaknya dengan memasukkan ketiga nama para pemainnya tersebut ke dalam film ini telah cukup membuat After.Life mempunyai tempat tersendiri bagi para penontonnya. Saya sendiri salut dengan Christina yang berani mengambil peran-peran yang 'tidak biasa' di beberapa filmnya, salah satunya di dalam After.Life di mana di salah satu adegan mengharuskan Christina tampil topless.

Happy Watching..










REVIEW: TRIANGLE (2011)

| 3 komentar

Christopher Smith namanya juga dikenal melalui film Black Death (2010). Selain Black Death (2010) film lain yang juga di-handle oleh Smith adalah Severance (2006), Creep (2004), The Day Grandad Went Blind (1998), dan The 10.000 Days (1997). Smith memiliki peran yang sangat besar dalam semua film yang dia handle, selain sebagai sutradara dia juga berperan sebagai penulis naskah ke semua film tersebut, begitu juga kali ini dalam film Triangle. Triangle sendiri sebenarnya sudah dirilis di USA sejak tahun 2009 lalu.

Dalam filmnya kali ini, Smith mempercayakan Melissa George untuk memerankan Jess yang notabene merupakan tokoh utama. Melissa sendiri bukan orang baru dalam dunia perfilman. Dia memang tidak banyak mendapatkan peran dalam film-film layar lebar, tetapi untuk bagian TV Series dia jagonya. Melissa telah bermain untuk TV Series sejak tahun 1993. Pada saat itu dia berperan sebagai Angel Brooks/Angel Parish dalam film Home and Away (1993-1996), selain itu juga telah bermain dalam Charmed (2003) sebagai Freyja, Alias (2003-2005) sebagai Lauren Reed, In Treatment (2008) sebagai Laura Hill, Grey's Anatomy (2008-2009) sebagai Dr. Saddie Harris, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk perannya dalam layar lebar, Melissa juga pernah bermain untuk film 30 Days of Night (2007) sebagai Stella Olesson.

"Jess (Melissa George) merupakan ibu rumah tangga yang memiliki satu anak laki-laki. Dia hidup sebagai single parent. Hal ini membuat Jess menjadi merasa memiliki tekanan tersendiri. Singkat cerita, Jess memutuskan untuk pergi berlayar bersama dengan teman-temannya. Di tengah perjalanan terjadi badai yang menyebabkan kapal yang mereka tumpangi karam. Mereka berusaha bertahan hingga badai selesai dan pada saat itu mereka melihat ada sebuah kapal laut besar yang mendekat ke arah mereka. Akhirnya setelah berteriak-teriak meminta tolong kapal tersebut menjulrkan tangganya agar mereka bisa naik ke kapal tersebut.
Sesampainya di dalam kapal tersebut, Jess bersama teman-temannya mengelilingi kapal untuk mencari orang-orang yang berada di kapal itu. Namun kenyataannya di kapal tersebut tidak ada orang. Mereka pun merasa sangat heran dan semakin lama justru membuat keadaan semakin mencekam. Jess merasa seperti dirinya mengalami de javu. Keadaan semakin kacau ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak sendiri dalam kapal itu. Di tengah kebingungan mereka tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya sesosok orang yang memakai topeng dan mengicar mereka satu per satu untuk.... dibunuh."

Di awal, film ini memiliki alur maju yang jelas, namun ketika sudah berada di tengah-tengah cerita, alurnya mulai membuat penonton menjadi bingung. Apalagi kalau memikirkan karakter Jess yang sebenarnya yang mana. Bahkan Triangle memilih alur bolak-balik, maksudnya adalah ketika semua teman Jess mati dan hanya meninggalkan dia seorang diri maka adegan selanjutnya berkali-kali balik ke adegan ketika mereka berada di tengah laut sehabis kapal mereka karam diterjang ombak. Sebenarnya hal tersebut sudah membuat saya sangat bosan dengn filmnya. Terasa terlalu menghabiskan waktu namun ternyata tetap berhasil membuat saya merasa semakin penasaran. Hal berbeda saya rasakan ketika akhirnya film berakhir. Saya merasa percuma menonton film ini karena tidak menghadirkan penyelesaian yang jelas. Intinya adalah cerita film ini hanya berputar-putar saja. Menurut saya hal tersebut bukan hal yang membuat film ini menjadi luar biasa.

Tidak ada yang dapat dinikmati dengan baik dalam film ini kecuali rasa penasaran penonton yang terjaga hingga di pertengahan konflik yang dihadirkan. Tata pengambilan gambar, suara, dan sinematografi yang dihadirkan dalam Triangle terasa sangat biasa. Mungkin Christopher Smith memang ingin mengedepankan alur cerita yang bolak-balik tersebut sebagai hal utama dalam filmnya. Namun hal tersebut bagi saya masih sangat jauh dari kata berhasil. Alih-alih membuat penonton penasaran justru malah membuat saya yang menonton film ini merasa bosan dan semakin tidak ada tantangannya. Ditambah lagi dengan tidak adanya penyelsaian konflik yang jelas dalam film ini.

Untuk jalan cerita dan alur cerita yang dihadirkan dalam Triangle menurut saya membuat akting para pemainnya juga menjadi stuck dan tidak ada yang luar biasa. Namun mereka tetap telah memainkan peran masing-masing dengan cukup baik. Seandainya film ini lebih menitik beratkan dengan masalah psikologis yang dialami Jess, mungkin beberapa peran di sini akan lebih berkembang dan terasa geregetnya. Untuk akting Melissa George sendiri sudah cukup memuaskan. Dia berhasil menampilkan bagaimana depresinya dia dengan keadaan keluarga dan dirinya sendiri. Hal lain yang masih tetap sayangkan adalah karena Triangle mencap dirinya sebagai film yang ber-genre drama, mystery, dan thriller. Drama yang coba ditawarkan memang terasa lebih dominan dari pada mystery dan thriller-nya. Saa rasa Christopher Smith masih harus banyak belajar bagaimana membuat film mystery dan thriller dengan lebih baik.

Untuk Anda yang penasaran ingin mengetahui Triangle lebih lanjut silahkan Anda saksikan sendiri filmnya.

Happy Watching..






REVIEW: TRUST (2011)

Jumat, 27 Mei 2011

| 0 komentar


Trust disutradarai oleh pengisi suara Melman di Madagascar, yaitu David Schwimmer. Selaain dikenal sebagai pengisi suara Melman di Madagascar, Scwimmer juga sudah banyak menunjukkan sepak terjangnya di dunia perfilman, baik sebagai aktor hingga sebagai sutradara maupun produser/eksekutif produser. Sebut saja serial Friends yang sudah tidak disangsikan lagi kualitasnya. Ya, film seri itu ditangani langsung oleh Schwimmer. Dia berperan sebagai produser, sutradara, hingga menjadi salah satu pemain dalam serial tersebut.

Schwimmer melihat fenomena korban asusila di dunia maya semakin meningkat. Bukan hanya akan menghancurkan korbannya saja, tetapi juga dapat menghancurkan keluaga si korban. Dibutuhkan perhatian khusus dari para orangtua untuk lebih memperhatikan putra-putri meraka dalam berselancar di dunia maya. Jangan kemajuan teknologi justru sedikit demi sedikit membawa anak ke arah-arah yang negatif. Hal ini lah yang coba diangkat oleh Schwimmer dalam Trust, agar sekiranya para penonton dapat memaknai pesan sosial yang coba dia sampaikan.

Schwimmer mempercayakan kepada Liana Liberato, seorang gadis belia berumur 17 tahun sebagai pemeran utama dalam Trust. Masih ada lagi nama Clive Owen dan Catherine Keener yang namanya duduk dijajaran pemain lainnya. Trust sendiri baru dirilis pada 3 April 2011 di USA dengan budget sebesar 4 Juta USD.

"Annie Cameron (Liana Liberto) hidup bahagia dan damai dengan keluarganya. Annie merayakan hari ulang tahunnya dengan mengadakan makan malam bersama di rumah dengan keluarganya. Will Cameron (Clive Owen) memberikan sebuah laptop sebagai hadiah ulang tahun untuk Annie. Sontak dia merasa sangat senang dengan hadiah yang dia terima. Annie menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan gadget yang dimilikinya. Dia mempunyai teman di dunia maya yang dikenal dengan nama Charlie (Chris Henry Coffey) yang mengaku berusia 15 tahun. Hingga pada suatu saat Charlie mengungkapkan rahasianya kepada Annie, bahwa sebenarnya dia adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang sedang duduk di bangku kuliah. Selang beberapa waktu kemudian, Charlie kembali mengungkapkan rahasianya lagi bahwa sebebnarnya dia adalah seorang pria berusia 25 tahun.
Annie merasa bingung dan sulit untuk menerima kejujuran Charlie. Namun dengan kepolosannya, Annie tetap memilih untuk percaya penuh dengan Charlie dan terus menjalin komunikasi dengannya. Kedua orangtua Annie hanya sebatas mengetahui memiliki komunikasi yang intens dengan Charlie. Ketika Annie memutuskan untuk bertemu Charlie di sebuah mall dia tidak memberitahu keluarganya. Namun ketika akhirnya Charlie yang dia tunggu tiba, Annie harus menerima kenyataan yang jauh lebih mengagetkan bahwa Charlie sebenarnya adalah seorang pria dewasa yang telah berusia 35 tahun.
Annie lagi-lagi merasa bingung dan sangat marah dengan Charlie. Namun dengan segala jurus rayuan Charlie yang sangat meyakinkan akhirnya Annie menjadi luluh dan memaafkannya, bahkan Annie mau diajak pergi ke sebuah motel dengan Charlie. Di sana Charlie berusaha merayu Annie agar mau having sex dengan dirinya. Annie yang masih terlalu muda dan polos mau saja terkena tipu daya Charlie. Semenjak itu lah keluarga Annie tidak pernah sama seperti dulu lagi."

Jalan cerita film ini sangat menakjubkan. Sederhana namun sangat memukau. Schwimmer mampu menampilkan sosok Annie yang masing sangat muda dan polos namun terjebak karena kepercayaan yang dia berikan ke Charlie terlalu berlebihan. Untuk anak usia remaja memang sedang masa-masanya mereka mencari jati diri yang sebenarnya, ditambah dengan sifat-sifatnya yang keras kepala, merasa benar, merasa keluarga dan lingkungan sekitar tidak ada yang mengerti akan dirinya, dan lain sebagainya. Untuk masa sekarang mungkin lebih tepatnya disebut dengan 'Galau' & 'Labil'.

Akting Liana Liberato juga benar-benar memukau. Liberato sangat total dalam menampilkan aktingnya kali ini. Dia berhasil menampilkan sosok remaja yang 'galau' ketika dihadang dengan sebuah masalah besar. Bagaimana keras kepalanya dia ketika ayahnya sangat berusaha menunjukkan kepada dia kalau sebenarnya dirinya adalah korban kekerasan seksual.
Bukan hanya Liberato yang tampil memuaskan, Clive Owen dan Catherine Keener juga tidak kalah keren penampilannya. Mereka juga sangat berhasil menampilkan ekspresi, body language, dan emosi sebagai orangtua yang merasa sangat terpuruk melihat putrinya hancur di depan mata. Chemistry dari ke dua pemain itu juga sangat terasa, sehingga membuat mereka saling membaur.
Kesuksesan akting para pemainnya ini tentu tidak lepas dari peran sang sutradara. Jelas bahwa Schwimmer benar-benar berhasil membawa Trust menjadi tontonan yang sangat berkualitas.

Hal yang paling penting ketika kita menonton Trust adalah kita jangan mengharapkan untuk mengetahui lebih lanjut lagi mengenai tokoh sang penjahat. Film ini memang bukan menampilkan pengejaran penjahatnya menjadi bagian terpenting, tetapi lebih menitik beratkan kepada bagaimana seorang remaja putri beserta keluarganya berusaha untuk saling percaya lagi dan bersama-sama menghadapi cobaan dengan lebih tegar.

Jika anda senang menonton film dengan ending yang unexpected namun berkualitas, maka Trust dapat anda pertimbangkan.

Happy Watching...







REVIEW: THE COMPANY MEN (2011)

Sabtu, 14 Mei 2011

| 0 komentar


Tentu kita masih ingat dengan film Up In the Air (2009) yang dibintangi oleh salah satu maestro dunia perfilman, George Clooney. Jika film itu menceritakan pemutusan hubungan kerja (phk) dari sudut pandang orang yang melakukan pemecatan itu, maka berbeda dengan The Company Men yang justru menceritakannya dari sudut orang-orang yang terkena phk. The Company Men sendiri dibintang oleh bintang-bintang top Hollywood, seperti Ben Affleck, Chris Cooper, Tommy Lee Jones, dan Kevin Costner.

"Berlatar belakangkan tahun 2008, di mana Amerika pada saat itu sedang mengalami krisis keuangan yang tentu saja membawa dampak negatif bagi para pekerja. Hampir semua pelaku bisnis pun terkena imbasnya, tidak terkecuali tempat di mana Bobby (Ben Affleck) kerja. Setibanya Bobby di tempat kerja, dia langsung dipanggil untuk diberitahukan mengenai pemutusan hubungan kerja terhadapnya. Bukan hanya dia saja yang mengalami hal itu, tapi ratusan karyawan lainnya pun mengalami hal yang sama. Bobby sulit memahami keputusan yang diambil perusahaannya, karena dia merasa benar-benar tidak ada persiapan dirinya akan di phk. Dia juga merasa bingung untuk jujur kepada keluarganya mengenai phk yang dialaminya hari itu.
Selanjutnya, Phil (Chris Cooper) juga dipecat oleh perusahaany yang sama dengan tempat Bobby bekerja. Phil dan Bobby bahkan bekerja dalam satu divisi di perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi tersebut. Keadaan menjadi semakin rumit ketika Gene (Tommy Lee Jones) yang merupakan atasan dari Bobby dan Phil juga mengalami hal yang sama dengan mereka, dipecat. Ironisnya Gene dipecat oleh teman seperjuangannya sendiri ketika dia bersam-sama dengannya membangun perusahaan transportasi tersebut.
Bobby yang awalnya merasa putus asa dengan keterpurukannya yang tiba-tiba akhirnya dapat bangkit kembali karena mendapatkan dukungan yang penuh dari istri dan anaknya. Namun hal berbeda terjadi dengan Phil dan Gene. Di usia yang sudah lanjut membuat mereka menjadi berada dalam situasi post power syndrome."

Intinya film ini menceritakan perjuangan ketiga orang tersebut setelah mereka sama-sama mengalami phk. Ben Affleck memang mendapatkan porsi jauh lebih banyak dari pada rekan-rekannya yang lain. di mana dia sebagai pribadi yang lebih terbuka akan hal-hal baru dan terus berusaha sebaik mungkin demi keluarganya. Hal ini mungkin dikarenakan dia masih berada dalam usia produktif dan juga masih memiliki tanggung jawab penuh terhadap keluarganya. Berbeda dengan dua karakter lainnya yang sudah berada pada usia pensiun dan kurang cerdik dalam menyikapi pengangguran yang dialaminya. Affleck benar-benar berhasil menimbulkan setiap emosi yang dirasakan oleh Bobby dan dapat dengan mudahnya ditangkap oleh penonton. Bagaimana putus asanya hingga akhirnya dia kembali bangkit demi keluarga terasa dengan jelas karena kekuatan akting Affleck yang semakin handal.

Para pemeran lainnya, seperti Cooper, Jones, dan Costner juga berhasil memainkan karakter masing-masing dengan sangat bagus. Ditambah dengan pemanis hadirnya Maria Bello yang berperan sebagai Sally Wilcox. Di sini Bello berperan seperti George Clooney di Up In the Air. Namun dalam The Company Men memang bagian Bello hanya sedikit sekali, namun di setiap kemunculannya, terutama ketika dia sedang mem-phk seseorang, berhasil membuat suasana film ini menjadi lebih berwarna.

The Company Men bukan hanya menggambarkan para karyawan yang di phk, tapi juga memberikan penggambaran yang lebih jelas mengenai krisis keuangan yang melanda Amerika pada saat itu telah menghancurkan banyak kehidupan dan juga menggambarkan bagaimana perusahaan-perusahaan besar di sana terus saja menghamburkan uang untuk kepentingan lain yang sebenarnya bukan kepentingan utama dari perusahaan.

Salah satu kekurangannya adalah John Wells seperti terasa terlalu memaksakan konsepnya mengenai pengangguran di dalam film ini. Konsepnya menurut saya terlalu kaku, sehingga cenderung membuat saya mengantuk sepanjang film ini diputar. Sangat disayangkan karena The Company Men sesungguhnya memiliki kekuatan cerita yang sangat bagus jika saja dikemas dengan lebih dinamis. Konflik yang dihadirkan pun terasa kurang kuat dan ditambah dengan alurnya yang berjalan sangat lambat. Hal ini mungkin dimaksudkan agar penonton dapat melihat lebih detil mengenai perjuangan Bobby, Phil, dan Gene. Namun bagi saya sendiri hal ini justru terasa sangat membosankan. Akan lebih fresh jika konflik yang dihadapi lebih diperkecil fokusnya agar konflik itu dibahas dengan lebih mendalam, ketimbang berusaha memaparkan berbagai macam konflik yang dihadapi seorang penganggura namun akhirnya justru konflik-konflik tersebut tidak digali mendalam dan akhirnya malah menjadi menguap begitu saja.

Nahhh...bagi anda yang memang hobi dan sangat menyukai film drama, maka The Company Men akan dengan setia menemani anda selama 104 menit.

Happy Watching...






        

REVIEW: SOLSTICE (2011)

| 0 komentar


Lama sekali rasanya saya sudah tidak menulis di sini. Dengan semakin lamanya saya tidak memulai untuk menulis, maka jumlah film yang saya tonton pun semakin menumpuk dan akhirnya tugas menulis saya ini juga jadi ikut-ikutan menumpuk. Solsctice sudah saya tonton di XXI sejak 29 Maret. Namun baru sekarang ini saya mulai memiliki hasrat untuk menulis lagi.

Amanda Seyfried menjadi salah satu aktris pendukung dalam film ini. Hal ini yang membuat saya menjadi memiliki niat untuk menontonnya, ditambah lagi film ini merupakan 'stok lama'. Ya, film ini memang film yang seharusnya diluncurkan pada tahun 2008, namun karena beberapa hal maka Solstice baru dapat dinikmati oleh penonton Indonesia di tahun 2011 ini. Sudah bosan rasanya saya melihat poster film ini terpajang di banyak 21 maupun XXI namun tidak kunjung dimainkan.

Solstice bukan hanya didukung oleh Ms. Seyfried saja, tapi juga oleh para pemain lainnya. Bahkan dalam film ini, Seyfried bukan ditempatkan sebagai tokoh utama. Sang sutradara, Daniel Myrick, lebih mempercayakan peran utama kepada Elisabeth Harnois. Harnois selama ini lebih banyak berkiprah dalam bidang TV Series sejak masih kecil, sebut saja Highway To Heaven (1987), Till We Meet Again (1989), hingga CSI: Miami (2006), One Tree Hill (2006), dan lain sebagainya.

"Megan (Elisabeth Harnois) harus merelakan saudara kembarnya yang sudah meninggal sejak enam bulan lalu. Namun nyatanya sangat berat bagi Megan untuk merelakan kepergian saudaranya itu. Dia sangat terpukul, terlebih-lebih karena saudaranya itu meninggal dikarenakan bunuh diri. Megan merasa tidak percaya  dengan cara kematian saudaranya. Hal ini membuat keempat sahabatnya menjadi bignung dengan perubahan Megan. Mereka akhirnya mengajak Megan untuk pergi berlibur.
Megan akhirnya memilih untuk menerima tawaran teman-temannya berlibur. Dia akhirnya pergi bersama Christian (Shawn Ashmore), Zoe (Amansa Seyfried), Alicia (Hilarie Burton), dan Mark (Matt O'Leary) ke sebuah danau di daerah Lousiana. Merekasengaja memilih hari di mana siang harinya lebih panjang dari pada waktu di malam hari. Di mana para penduduk di sekitar danau tersebut mempercayai bahwa di hari itu dunia gaib berada sangat dekat dengan dunia manusia. Dengan begitu dipercaya juga akan ada seseorang yang dapat terkoneksi dengan dunia gaib. Hal ini lah yang dirasakan Megan. Sejak pertama dia sampai di daerah itu, dia merasa seperti ada yang mengawasinya.
Megan berusaha mengungkap semua misteri yang melandanya. Dia juga telah memberi tahu teman-temannya mengenai semua hal yang dia alami. Namun tidak mudah bagi Megan untuk membuat teman-temannya mempercayai semua ceritanya."

Solstice mengkalin bahwa dirinya termasuk ke dalam genre film horror. Namun kenyataannya, Solstice justru hanya film drama tentang hantu yang tidak dapat dikatakan sebagai film horror sama sekali. Hal ini dikarenakan Solstice tidak memiliki unsur-unsur selayaknya fiml-film horror Hollywood seperti biasa. Tidak ada adegan yang benar-benar dapat membuat penontonnya merasa tegang , takut, maupun deg-degan. Sebenarnya Solstice telah berusaha untuk membangkitkan hal-hal tersebut di beberapa adegannya. Seperti menyelipkan adegan-adegan klasik dalam film horror seperti suara radio yang tiba-tiba saja menyala dan lampu mobil yang hidup-mati. Semua adegan klasik itu dimaksudkan untuk menghidupkan suasana horror seperti seharusnya. Namun sayangnya justru semua adegan klasik yang sudah ditampilkan oleh Solstice tidak diikuti dengan kejutan maupun unsur misteri yang kuat yang akhirnya membuat semua adegan tersebut menjadi hambar dan terasa sisa-sia.

Daniel Myrick yang duduk di bangku sutradara dan termasuk ke dalam tim penulis Solstice nyatanya masih kurang mampu membawa Solstice menjadi film horror Hollywood yang sungguhan. Masih terasa banyak kekurangan dalam setiap adegan dalam film. Padahal untuk teknik pengambilan gambar dan audio visual sudah termasuk baik. Namun itu semua akan terasa lebih sempurna jika diikuti oleh kuatnya cerita dalam film tersebut. Kemampuan Myrick dalam men-direct film horror masih lebih baik ketimbang dia menjadi penulis cerita film horror. elah memiliki bakat yang baik sebenarnya, hanya saja dia harus dapat mengemas bakatnya tersebut dengan cara yang benar. Sewaktu dia menjadi director dan writer di film The Blair Witch Project (1999) bersama dengan temannya, Eduardo Sanchez, dia berhasil membawa film itu ke tingkat ketegangan yang masih jauh lebih baik dari pada di film Solstice ini.

Segala kelemahan dalam film ini masih beruntung ter-cover dengan akting para pemainnya yang enak dipandang mata. Elisabeth Harnois berhasil memerankan tokoh utama dengan sangat baik. segala ekspresi dan body language-nya telah berhasil membuat penonton merasa akting dia meyakinkan. Selain itu, Amanda Seyfried berhasil menunjukkan kepiawaian aktingnya dalam film ini. Memang masih kurang kuat akting Seyfried dalam film ini, tapi nyatanya dalam film-film selanjutnya dia justru sangat berhasil membuktikan kualitas aktingnya untuk memerankan berbagai macam karakter dan jenis film.

Film ini sangat ringan bagi genre horror. Maka bagi anda yang sangat menyukai film horror Hollywood dapat menikmati film ini dengan jauh lebih santai.

Happy Watching...



It's About What???

2006 (3) 2007 (1) 2008 (5) 2009 (4) 2010 (37) 2011 (43) 3D (4) Academy Awards (2) Action (13) Adam Sandler (1) Adventure (1) Alex Pettyfer (1) Amanda Seyfried (3) Amber Heard (2) Amy Adams (1) Andrew Garfield (1) Angelina Jolie (1) Anne Hathaway (2) Ashton Kutcher (1) Asian (6) Ben Affleck (2) Ben Stiller (1) Biography (4) Blake Lively (1) Bruce Willis (2) Cam Gigandet (1) Cameron Diaz (1) Chloë Moretz (1) Chris Cooper (1) Chris Pine (1) Christian Bale (1) Christina Aguilera (1) Christina Ricci (1) CIA (1) Colin Firth (1) Comedy (10) Crime (11) Dakota Fanning (1) Dance (1) Daniel Radcliffe (1) Denzel Washington (1) Documenter (1) Drama (49) Drew Barrymore (2) Dustin Hoffman (1) Dwayne Johnson (1) Education (1) Emma Roberts (1) Emma Watson (1) Erotic (1) Facebook (2) Family (16) Fantasy (11) Fiction (4) Game (1) Game Online (1) Geoffrey Rush (1) Gerrard Butler (1) Halle Berry (1) Han Ji-Hye (1) Hayden Panettiere (1) Helena Bonham-Carter (1) History (1) Horror (20) India (1) Jake Gyllenhaal (1) Jalan-jalan (1) Jason Statham (1) Jennifer Aniston (1) Jennifer Lopez (1) Jepang (2) Jesse Eisenberg (2) Jessica Alba (1) Johny Depp (1) Josh Duhamel (1) Julia Roberts (1) June (1) Justin Long (2) Justin Timberlake (1) Kate Beckinsale (1) Katherine Heigl (1) Keira Knightley (1) Kevin Costner (1) Kristen Bell (2) Lee Chun-Hee (1) Lee Hwi-Hyang (1) Leighton Meester (1) Liam Neeson (1) Life As We Know It (2) Lippo Cikarang (1) Little Fockers (1) Logan Lerman (1) Ludacris (1) March (1) Mark Wahlberg (1) Mark Zuckerberg (1) Mary-Kate Olsen (1) Michelle Williams (1) Mila Kunis (1) Morgan Freeman (1) Movie (64) Movie Release (3) MTV Movie Awards (1) Musical (1) Mystery (11) Naomi Watts (1) Natalie Portman (2) Nicholas Cage (1) Nicole Kidman (1) November (1) Oscar (2) Owen Wilson (2) Psikologis (3) Ray Winstone (1) Rebeca Hall (1) Review (61) Robert De Niro (2) Romance (14) Rosario Dawson (1) Rupert Grint (1) Russel Crowe (1) Ryan Gosling (1) Ryan Reynolds (1) Sam Rockwell (1) SciFi (3) Sean Penn (1) South Korea (3) Sport (1) Synopsis (10) Thailand (1) Thriller (25) Tommy Lee Jones (1) Vanessa Hudgens (1) Waterboom (1)

Count Me In....

Diberdayakan oleh Blogger.
 
blog-indonesia.com