REVIEW: THE GRAVEDANCERS (2011)

Sabtu, 26 Maret 2011

| 2 komentar

Semakin banyak saja film-film lama yang baru bisa tayang di Indonesia. Baru-baru ini saya juga baru saja menonton White Noise 2: The Light yang sebenarnya film tahun 2007, The Tournament yang sebenarnya sudah rampung sejak tahun 2009, dan masih banyak lagi. Dengan begini, pantas saja dari gambarnya sudah dapat ditebak dengan pasti kalau film ini sudah agak lama pembuatannya. The Gravedancers juga ditangani oleh orang-orang yag dapat dibilang masih kurang berpengalaman dalam penggarapan film-film, khususnya untuk yang sekelas Hollywood. Hal ini berakibat The Gravedancers tampil dengan kurang memuaskan diberbagai sisi.

"Harris McKay (Dominic Purcell), Kira Hayden (Josie Maran), dan Sid Vance (Marcus Thomas) bertemu dan berkumpul kembali di pemakaman teman akrab mereka semasa kuliah, Devin. istri Harris, Allison Mitchell (Clara Kramer), mengijinkan suaminya menghabiskan sisa waktunya bersama dengan sahabat-sahabat karibnya tersebut. Mereka bertiga menghabiskan waktu dengan minum-minum di sebua kafe kecil. Di sana salah satu dari mereka akhirnya mencetuskan ide untuk pergi ke makam Devin lagi, hitung-hitung sebagai salam perpisahan mereka.
Di sana, mereka bertiga seperti berpesta di dekat makam Devin. Pada saat itu mereka dalam keadaan mabuk. Sid menemukan sebuah kartu ucapan di dekat batu nisan Devin. Dia membuka dan membaca isi kartu ucapan tersebut. Isi kartu ucapan itu cukup aneh dirasakan mereka, namun mereka tidak ambil pusing da kembali bersenang-senang. Saking mabuknya, mereka sampai tidak bisa mengontrol diri mereka masing-masing. Mereka bertiga menyetel musik dan berjoget-joget di atas makam orang.
Harris tiba di rumah pagi hari. Dia menemukan Allison tertidur di meja ruang tamu. Harris segera memutuskan untuk pergi mandi. Pada saat itu lah hal-hal aneh mulai dirasakan oleh Allison. Sampai berhari-hari Allison merasa ada sesuatu yang aneh di rumahnya. Dia merasa dirinya diuntit oleh seseorang. Sampai pada suatu malam, Allison mengalami hal yang benar-benar menakutkan. Dia pun mengatakan pada Harris kalau dia merasa diuntit. Allison menuduh Kira yang menguntit dirinya. Untuk membuktikan hal tersebut, Allison mengajak Harris ke rumah Kira. Di sana mereka justru mendapati Kira dalam keadaan yang sangat berantakan dan memprihatinkan. Allison pun sadar, bukan Kira lah yang selama ini mengganggu hidupnya.
Keadaan ganjil yang dialami oleh Allison dan Harris ternyata juga dialami oleh Sid. Bahkan Sid telah memanggil paranormal, Vincent Cochet (Tcheky Karyo) dan Frances Culpepper (Megahn Perry) yang menjuluki diri mereka sebagai parapsikolog, untuk membuktikan hal-hal gaib yang terjadi pada Sid.
Setelah Allison mengatakan kepada para paranormal itu dia juga mengalami hal gaib seperti Sid, akhirnya Vincente dan Frances tetap bersedia melanjutkan menyelidiki masalah ini. Mereka berhasil mengetahui keadaan apa sebenarnya yang sedang dialami dan dihadapi oleh Harris, Allison, Sid, dan Kira. Semua ini berkaitan dengan keadaan mereka yang mabuk pada saat di tempat pemakaman. Mereka bertiga telah melakukan penodaan terhadap makam, sehingga para penghuni kubur yang mereka nodai itu sekarang bangkit dan menuntut balas kepada mereka semua."

The Gravedancers tampil layaknya film-film horor Amerika lainnya, sebut saja seperti Drag Me To Hell (2009) yang disutradarai oleh Sam Raimi, yang juga sutradara dari film Spiderman. Walau saya lebih suka dengan Drag Me To Hell, The Gravedancers tetap tampil dengan beberapa adegan yang mampu membuat penonton tegang dan kaget. Sayangnya, di salah satu bagian akhir film, ketika Harris dan Allison sedang berusaha melarikan diri dengan menggunakan mobil dan mereka masih tetap dikejar-kejar oleh setan yang selama ini mengganggu kehidupan mereka. Kehadiran setan dalam adegan tersebut terlihat sangat cemen. Pada adegan itu bahkan para penonton justru tertawa. Padahal seharusnya adegan tersebut menjadi salah satu adegan antiklimaks. Bukan membuat penonton menjadi semakin ketakutan justru malah membuat penonton merasa kemunculan setan itu menggelikan.

Mike Mendez memilih alur cerita di awal film ini dengan sangat lambat. Jujur saja, saya sangat bosan di antara lebih kurang 15 menit awal film. Mungkin dia bermaksud agar penonton menjadi lebih penasaran dengan jalan ceritanya. Namun yang ada justru dia semakin membuat rasa penasaran penonton menurun. Hal ini berbalik dengan alur cerita film setelah terlihat titik cerah mengenai kejadian yang menimpa mereka semua. Alurnya semakin lama semakin cepat. Di sini mulai terasa alur yang dihadirkan lebih konsisten dan berhasil kembali sedikit demi sedikit mengembalikan rasa penasaran penonton.

Mike Mendez dibantu oleh Brad Keene dan Chris Skinner dalam penulisan naskah dan cerita. Mereka berdua berhasil menampilkan percakapan yang tidak terlalu bertele-tele namun juga tidak terlalu cepat. Penonton dapat dengan mudah mengikuti setiap percakapan di setiap adegan. Salah satu sisi positif lainnya dari film ini adalah akting yang ditampilkan oleh para bintangnya lumayan baik, terutama Dominic Purcell dan Clara Kramer yang memiliki porsi lebih banyak dari pada pemeran lainnya. Mereka berhasil menggambarkan setiap emosi dengan cukup baik. Hanya saja masi terasa kurang chemistry antara mereka. Hal ini menjadi salah satu kelemahan Mike Mendez juga, karena dia masih kurang berhasil dalam memunculkan chemistry kepada para pemainnya.

Audio visual The Gravedancers pun terasa sangat membantu keseluruhan cerita film. Dengan audio visual yang juga sudah cukup baik akhirnya berhasil menjadi salah satu poin positif lagi dari film ini, karena audio visual ini lah yang berhasil menggambarkan dengan baik setiap adegan yang ada. Musik, pengambilan gambar, tata pencahayaan, semua itu terasa sudah cukup baik. Kekonsistenan cerita alam film ini pun sudah cukup baik. The Gravedancers tetap fokus terhadap ceritanya. Setidaknya tidak seperti film-film horor di Indonesia yang masih krisis identitas, bukan menampilkan segi horornya justru malah lebih banyak menampilkan segi seksualitasnya.

Bagi Anda yang memang menyukai film horor ala Amerika namun dengan penampakan setannya yang ala Indonesia, maka The Gravedancers patut Anda pertimbangkan.

Happy Watching...






REVIEW: WHITE NOISE 2 - THE LIGHT (2011)

Rabu, 23 Maret 2011

| 0 komentar

Lagi-lagi film yang sudah rampung sejak tahun 2007 namun baru mendapat kesempatan diputar di Indonesia tahun 2011. Rasanya pantas film ini menjdai seperti film 'buangan' atau bisa juga disebut sebagai film 'sisa-sisa'. White Noise 2 hadir dengan banyak kekurangan dan tanpa diselipkan sesuatu yang dapat membuat film ini menjadi mempunyai ciri khas. Lagi-lagi dibalik kegagalan film ini ada nama Patrick Lussier di bangku sutradara. Sebelumnya, Drive Angry (2011), juga disutradari oleh dia. tadinya saya menganggap dia mahir dalam membuat film-film horor, namun melihat White Noise 2 saya harus mengakui kalau dia gagal (lagi) dalam filmnya kali ini.

"Abe Dale (Nathan Fillion) menjadi saksi mata pembunuhan yang menimpa istri dan anak laki-lakinya di sebuah kafe. Saat itu dia sedang merayakan hari ulang tahunnya dengan makan siang bersama keluarga. Tidak lama kemudia, datang seorang laki-laki yang tidak dia kenal. Laki-laki itu menmbakkan peluru ke arah istri dan anaknya. Setelah membunuh anak dan istrinya, laki-laki itu pun menembak dirinya sendiri.
Sejak peristiwa itu, Abe selalu dihinggapi perasaan-perasaan yang tidak nyaman hingg akhirnya membuat dia frustasi dan memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri, dengan cara meminum banyak obat yang akhirnya membuat dia menjadi overdosis. Abe segera dilarikan ke rumah sakit.
Abe yang sudah dalam kondisi kritis akhirnya dapat diselamatkan oleh tim dokter di rumah sakit tersebut. Sesadarnya dia dari keadaan koma, Abe merasa ada yang aneh dengan dirinya, terutama penglihatannya. Dia dapat melihat cahaya yang keluar dari tubuh seseorang. Setelah Abe berkonsultasi dengan dokternya, akhirnya dia dinaytakan mengalami NDE (Near Death Experience). Sayangnya, yang dialami oleh Abe tidak hanya sesederhana itu. Sinar yang dia lihat dari tubuh seseorang ternyata menjadi sebuah pertanda orang tersebut akan meninggal.
Abe semakin merasa frustasi. Dia merasa didatangi dan diawasi oleh makhluk-makhluk halus. Hal tersebut dikarenakan Abe berusaha menolong orang-orang yang 'seharusnya meninggal'. Dia akhirnya berusaha mencari tahu lebih dalam apa yang sedang dia alami, dan dari situ sedikit demi sedikit terungkap mengenai kebenaran dibalik kematian anak dan istrinya."

Selama 99 menit film ini diputar memang kita hanya difokuskan kepada karakter yang diperankan oleh Nathan Fillion. Karakter-karakter lain yang ada di film ini benar-benar memiliki porsi yang sangat sedikit. Namun bukan berarti kemunculan karakter lainnya menjadi tidak penting dalam White Noise 2. Karakter-karakter lain itu berhasil membantu Nathan Fillion dalam mengembangkan karakternya sendiri.

Nathan Fillion dapat kita lihat aktingnya sehari-hari di beberapa film series, sebut saja Desperate Housewives (2007-2008) berperan sebagai Dr. Adam Mayfair, Drive (2007) berperan sebagai Alex Tully, Miss Match (2003) berperan sebagai Adam Logan, Buffy the Vampire Slayer (2003) berperan sebagai Caleb, dan masih banyak lagi film-film series yang dia bintangi. Pengalaman dia di banyak film series memang membuat dia menjadi semakin matang dalam bermain akting. Fillion dapat mengeksplor karakter Abe yang dia mainkan dalam White Noise 2. Jika dilihat aktingnya dalam film ini sebenarnya dapat dikatakan tidak mengecewakan. Dia telah berhasil membawakan karakter Abe dengan baik.

Kekuatan akting Fillion dalam film ini menjadi seperti 'sia-sia' dikarenakan White Noise 2 tidak didukung oleh penulis cerita yang baik. Matt Venne yang duduk sebgai penulis cerita akhirnya harus mengakui kalau karyanya kali ini memang mengecewakan. White Noise 2 hadir dengan percakapan yang berat dan sedikit susah diikuti oleh orang awam. Terutama yang awam akan injil. Jika saja Venne dapat membuat percakapan yang menjadi lebih sederhana dan ringan untuk diikuti maka rasanya akan lebih banyak penonton yang dapat dengan mudah mengikuti setiap percakapannya. Selain itu, ide cerita film ini pun terasa 'semrawut'. Sungguh mengecewakan. Patrick Lussier yang duduk di bangku sutradara pun akhirnya gagal membawa film ini menjadi sebuah sajian yang menjanjikan seperti Scream yang selamaini telah berhasil dia buat menjadi film horor sepanjang masa. Sentuhan-sentuhan Lussier dalam Scream pun dapat kita rasakan dalam White Noise 2. Salah satunya adalah dengan mengandalkan menghadirkan rasa terkejut penonton di adegam-adegan tertentu. Sayangnya, hal ini lagi-lagi tidak membantu banyak untuk membuat film ini menjadi sajian yang memuaskan para penonton.

White Noise 2 telah didukung oleh audio visual yang cukup baik, dan selain itu sinematografinya pun sebenarnya tidak terlalu mengeceawakan. Hal ini dikarenakan White Noise 2 telah berhasil menggambarkan dengan baik 'kegelapan' hati dan kehidupan Abe sepeninggal anak dan istrinya. Penonton pun dapat merasakan emosi Abe.

Walaupun White Noise 2 tidak hadir dengan maksimal, namun masih terdapat beberapa hal bagus dalam film ini. Setidaknya bagi anda yang menyukai rasa terkejut, maka film ini lumayan dapat membuat anda terkejut.

Happy Watching...







REVIEW: DRIVE ANGRY 3D (2011)

Sabtu, 12 Maret 2011

| 0 komentar

Nicholas Cage diharapkan menjadi nilai tambah tersendiri untuk lebih menyukseskan film ini. Ini dapat kita lihat di poster film Drive Angry. Nama Cage terpampang paling besar dan berada di paling atas poster. Di sisi lain, Cage memang mendapatkan peran penuh dalam filmnya kali ini. Sudah lumayan sering rasanya Cage bermain dalam film sejenis ini. Menjadi salah satu sosok sentral dan memiliki kekuatan-kekuatan 'gaib', contohnya adalah ketika dia bermain di film The Sorcerer's Apprentice (2010), Kick-Ass (2010), dan Ghost Rider (2007).

Jika sebelumnya Cage bermain sebagai rider, maka kini dia bermain sebagai seorang driver yang sangat ahli. Dalam Drive Angry, Nicholas Cage ditemani oleh seorang bintang wanita cantik yang sebelumnya juga telah kita lihat aksinya di beberapa film, antara lain Zombieland (2009) dan The Joneses (2009). Dia adalah Amber Heard. Sepak terjang dia dalam perfilman Hollywood memang tidak sebanyak Cage yang sudah lebih lama melanglang melintang di dunia perfilman Hollywood. Film ini semakin lengkap dengan kehadiran William Fichtner yang juga sudah lebih lama melanglang melintang seperti Cage.

"John Milton (Nicholas Cage) sebenarnya telah meninggal dunia. Kali ini dia khusus kembali ke bumi untuk membalaskan dendamnya kepada orang yang telah membunuh putrinya dan juga untuk menyelamatkan cucunya yang diambil oleh pembunuh anaknya untuk dijadikan persembahan di saat bulan purnama datang nanti. Di saat Milton sedang berkeliling mencari cucunya, dia bertemu dengan seorang gadis yang baru saja berhenti dari pekerjaannya sebagai waitress, Piper (Amber Heard). Milton membantu Piper ketika mobilnya mogok di tengah jalan. Dia meminta tumpangan dan Piper bersedia memberikan tumpangan untuknya.

Ketika Piper tiba di rumah, dia mendapati pacarnya sedang selingkuh. Piper pun marah luar biasa sampai akhirnya dia terlibat baku pukul dengan pacarnya. Di saat Piper telah payah, Milton segera datang dan membantu Piper. Akhirnya Piper pergi meninggalkan pacarnya yang pingsan dengan Milton. Misi pencarian cucunya pun semakin seru. Sedikit demi sedikit dia semakin dekat dengan pelaku pembunuh anaknya dan juga yang telah menculik cucunya, Jonah Hill (Billy Burke). Adegan kejar-kejaran antara dia dengan Jonah Hill juga diselingi dengan The Accountant yang ternyata juga mengejar Milton."

Saya sedikit pangling melihat Billy Burke di sini. Saya sempat tidak ngeh kalau dia adalah pemeran ayahnya Bella Swan di Twilight Saga. Mari lupakan peran dia sebagai seorang ayah yang kaku namun sangat menyanyangi anaknya, kali ini Burke berperan sebagai seorang penjahat. Dia berhasil melepaskan image yang sangat melekat pada dirinya sebagai Charlie Swan. Dengan penampilan dan body language yang berbeda, dia terlihat pas memainkan karakter Jonah Hill.

Sebaiknya kita juga melupakan akting Cage di Season of the Witch dan The Sorcerer's Apprentice yang sangat dibawah standar dirinya. Kali ini, dia terlihat lebih baik dari pada di kedua film itu. Akting Cage terlihat sangat meyakinkan, dia juga berhasil memunculkan emosi seorang ayah dan kakek yang berusaha untuk menyelamatkan penerus keluarganya dengan pas. Tentu saja kekuatan akting Cage di sini juga dibantu oleh karkater-karakter lainnya, yaitu Amber Heard yang setia menamani dia di sepanjang film. Mereka terlihat cocok namun sayangnya chemistry mereka tidak kuat dalam film ini. dalam beberapa film terakhirnya kali ini Cage memang semakin menurun kulitas aktingnya. Toh nama dia masih tetap menjadi sebuah jaminan jika seseorang memilih untuk menonton film. Mungkin kesalahannya adalah Cage tidak selektif memilih peran-perannya beberapa waktu ini. Seakan-akan terlihat dia seperti sedang 'kejar setoran'. Semua peran yang ditawarkan dia langsung ambil tanpa melihat kualitasnya terlebih dahulu. Saya rasa ini semua memang berkaitan dengan kebangkrutan yang sedang melanda Nicholas Cage bebrapa waktu ini.

Audio visual yang ditampilkan film ini juga lumayan. Terutama untuk versi 3D, dalam beberapa adegan 3D-nya sangat terasa, tapi selelbihnya ya seperti biasa. 3D tidak menimbulkan efek apa-apa. Kekuatan sinematografi dalam Drive Angry juga belum terasa maksimal. Kali ini kehebatan Patrick Lussier juga pantas diacungi jempol. Dia berhasil menampilkan Drive Angry dengan cukup baik. Mengingat film ber-genre ini bukanlah keahliannya. Hanya saja sangat disayangkan kekuatan cerita dalam Drive Angry tidak kuat. Cerita yang dihadirkan dalam film ini terasa sangat jauh dari kenyataan namun tidak membuat orang menjadi kagum dengan ide cerita seperti ini. Lussier memang lebih berpengalaman di bidang film-film horror. Dia yang menyutradarai Scream (1996), Scream 2 (1997), Scream 3 (2000), My Bloody Valentine (2009), Red Eye (2005), dan White Noise 2: The Light (2007). Jadi, untuk film ber-genre seperti ini Lussier memang baru mencobanya. Kalau untuk film horror, rasanya kualitas dia sudah tidak perlu dipertanyakan. Film horror-nya yang akan segera dirampungkan adalah Halloween III (2012).

Drive Angry tampil menjadi sebuah sajian tontonan yang sebetulnya tidak menarik. Dengan jalan cerita yang tidak kuat membuat Drive Angry menjadi terlihat bimbang mau menonjolkan segi apa sebenarnya. Adegan yang berusaha ditonjolkan dalam film ini pun sudah sangat pasaran, seperti kejar-kejaran mobil, tembak-tembakan, dan sebagainya. Benar-benar tidak terasa ada sesuatu yang istimewa dalam film ini. Lussifer berusaha untuk membuat beberapa adegan menjadi lebih dramatisir dengan membuat adegan-adegan tersebut menjadi slow motion. Sayangnya hal ini benar-benar tidak membantu apa-apa.

BagiAnda yang ingin mencoba menonton Drive Angry versi 3D-nya, saya sarankan agar Anda memilih tempat duduk yang dekat dengan layarnya. Dengan begitu efek 3D akan lebih terasa. Satu lagi, jangan membawa anak di bawah umur menonton film ini, karena ini bukan diperuntukkan bagi mereka.

Happy Watching...







REVIEW: THE TOURNAMENT (2011)

| 2 komentar

The Tournament ternyata sudah rampung sejak tahun 2009, tapi (lagi-lagi) baru masuk ke Indonesia tahun ini. Yup... tahun 2011. Ckckck.. The Tournament dibintangi Robert Carlyle, Liam Cunningham, Ian Somerhalder, dan salah satu aktris terbaik di Asia, Kelly Hu. The Tournament disutradarai oleh Scott Mann yang memang belum terlalu banyak memiliki pengalaman di bidang perfilman Hollywood. Scott lebih berpengalaman dalam menyutradarai film-film series, sebut saja Stars In Their Eyes Kids (2001), Antique Fair (1999), Stars In Their Eyes (1990). Scott juga lebih banyak pengalamannya dalam menggarap film-film pendek, seperti Chaingangs (2003), Pocket Thief (2006), dan Tug of War (2006). Sedangkan untuk penulis naskah, The Tournament menyerahkan tanggung jawab kepada Gary Young dan Jonathan Frank yang sama-sama memiliki pengalaman mini dalam perfilman Hollywood. Dengan serba minimnya pengalaman sang sutradara dan penulis naskah dalam perfilman Hollywood maka wajar saja jika The Tournament akhirnya tampil dengan alakadarnya.

"Setiap tujuh tahun sekali di sebuah kota yang tidak terduga diselenggarakan sebuah turnamen untuk 30 pembunuh bayaran. Mereka diminta untuk saling membunuh satu sama lain. Mereka hanya diberikan waktu 24 jam untuk saling membunuh, dan orang terkahir yang berhasil survive maka dia lah yang akan keluar menjadi juara.

Juara sebelumnya dipegang oleh Joshua Harlow (Ving Rhames) yang berhasil bertahan hidup hingga waktu yang telah ditentukan habis. Tujuh tahun kemudian diadakan lagi turnamen tersebut di kota London. Joshua Harlow kembali masuk ke dalam daftar peserta, namun kali ini motivasi dia berbeda dengan motivasi 7 tahun yang lalu. Harlow ikut turnamen kali ini bukan untuk mendapatkan jumlah uang yang ditawarkan, melainkan lebih kepada misi balas dendam. Istrinya telah dibunuh tiga bulan yang lalu. Pembunuh istrinya menjadi salah satu peserta turnamen kali ini.

Di sisi lain, turnamen ini telah melibatkan warga sipil, yaitu seorang pendeta, Father MacAvoy (Robert Carlyle). Father MacAvoy meminum secangkir kopi yang di dalamnya terdapat alat pelacak bagi peserta turnamen. Jadilah Father MacAvoy yang terlacak oleh alat itu dan menyebabkan namanya masuk ke dalam jajaran peserta para pembunuh yang sangat berbahaya. Lai Lai Zhen (Kelly Hu) yang sebelumnya sedang mengejar salah satu peserta merasa kaget begitu melihat ternyata sasaran yang dia kejar adalah seorang lelaki dewasa yang kikuk, dan ternyata dia hanyalah seorang pendeta. Lai Lai Zhen akhirnya menjadi pelindung Father MacAvoy.

Joshua Harlow terus berusaha mengejar pembunuh istrinya. Harlow beranggapan bahwa Miles Slade (Ian Somerhalder) lah yang membunuh istrinya. Ketika akhirnya Harlow bertemu dengan Slade, dia tidak mengakui perbuatan yang memang bukan dia pelakunya. Harlow saat itu berhasil ditumbangkan oleh Slade. Slade pun memberitahu kalau Lai Lai Zhen lah yang membunuh istrinya.
Harlow segera mengejar Lai Lai Zhen. Dia sangat berhasrat untuk mengungkap kebenaran di balik kematian istrinya. Hingga akhirnya Harlow mengetahui siapa dalang sebenarnya yang meminta Lai Lai Zhen untuk membunuh istrinya."

Scott Mann berhasil membawa suasana ketegangan di dalam film ini. Selain itu, penonton juga dibuat menjadi ikut penasaran siapa sebenarnya pembunuh istri Harlow. Satu kesalahan fatal yang dilakukan Mann adalah ketika di mana Harlow telah diberitahu oleh Slade siapa pembunuh istrinya yang sebenarnya. Semua teka-teki yang telah dibangun sejak di awal film langsung lenyap begitu saja. Tiba-tiba semua teka-teki menjadi teramat mudah untuk dipecahkan oleh penonton. Beruntung ada adegan laga yang terasa sangat membantu film ini. Di saat penonton sudah tidak penasaran lagi dengan jalan ceritanya, penonton masih disuguhkan sajian laga yang cukup bagus.

Plot cerita yang disuguhkan The Tournament terasa kurang kuat. Sepertinya masih kurang geregetnya. Mann berusaha mengambil 'jalan aman' untuk film debutan Hollywoodnya ini. Dia memilih jalan cerita, konflik, dan klimaks yang sebelumnya juga telah banyak dapat kita lihat di film-film lain. Memang berhasil.. Sayangnya memang semua film yang berusaha mencarai 'jalan aman' selalu tampil lumayan namun tidak mengesankan. Jalan cerita yang tidak kuat berusaha ditutupi oleh Mann dengan menampilkan adegan-adegan laga yang cukup banyak dalam film ini. Selain itu adegan laga yang disuguhkan pun terasa lebih sadis. Saya menjadi teringat dngan film Ninja Assassin yang dibintangi oleh Rain. Darah bertebaran di man-mana dan bagian-bagian tubuh yang berceceran.

Gary Young dan Jonathan Frank berhasil membuat dialog-dialog dalam The Tournament dengan lumayan baik. Tidak terlalu dipenuhi oleh banyak percakapan namun tetap membuat penonton memahami setiap gerakan yang ditunjukkan oleh setiap karakternya. Saya sangat salut dengan body language ian somerhalder dalam film ini. Dia selalu saja berhasil memainkan peran sebagai karakter yang slenge'an dan tengil. Karater-karakter lain yang ada dalam The Tournament juga telah tampil dengan cukup bagus dan tidak mengecewakan.

Untuk standar sutradara dan penulis naskah yang memang masih minim pengalaman dalam perfilman Hollywood, The Tournament telah cukup berhasil tampil bagus.

Happy Watching...





REVIEW: FAIR GAME (2011)

Jumat, 11 Maret 2011

| 0 komentar

Sean Penn hadir kembali. Kali ini dia beradu akting dengan salah satu aktris hebat, Naomi Watts, dalam film Fair Game. Terakhir kali Sean Penn bermain apik di Milk (2008). Berbeda dengan Naomi Watts yang bermain lebih banyak film di tahun 2009 dan 2010 dibanding Sean Penn, sebut saja The International (2009), Mother and Child (2009), dan You Will Meet A Tall Dark Stranger (2010).

Fair Game dinahkodai oleh Doug Liman di bangku sutradara. Rasanya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kualitas Liman dalam menyutradarai sebuah film. Sebagian besar film-film hasil besutannya berhasil duduk di jajaran Box Office. Tentu kita ingat dengan film Bourne yang menempatkan Matt Damon sebagai pemeran utamanya dan film ini telah mendapatkan tempat di hati para pecinta film Box Office. Selain itu, Liman juga lah yang memproduseri film tv seri The OC dan The Knight Rider
Kali ini Liman juga berhasil membawa Fair Game menjadi sebuah sajian yang menarik untuk ditonton. Apalagi mengingat film ini based on true story, jadi membuat penonton menjadi semakin penasaran apakah Fair Game mampu menuangkan kisah nyata ini menjadi sebuah sajian yang layak untuk dinikmati.

"Berkisah mengenai Valerie Plame (Naomi Watts) yang bekerja sebagai agen rahasia CIA. Plame memiliki seorang suami diplomat, Joe Wilson (Sean Penn). Valerie bekerja memimpin penyelidikan senjata pemusnah massal di Irak. Dia telah mengorbankan keluarganya, terutama anak-anaknya. Di saat seharusnya dia berada di rumah, Valerie justru terbang melanglang buana ke daerah-daerah Timur tengah demi menjalankan misinya sebagai agen rahasia CIA. 
Pada suatu ketika, Joe Wilson akhirnya tiba-tiba terseret namanya ke dalam penyelidikan yang dilakukan CIA dan Pemerintah menyangkut dugaan penjualan uranium ke Nigeria. Sebenarnya posisi Joe Wilson sengaja dimanfaatkan oleh pemerintah guna mendukung isu-isu untuk mewujudkan perang yang sebenarnya. Bukan hanya itu saja, identitas Valerie yang selama ini dirahasiakan pun akhirnya dibongkar oleh pemerintah sendiri tanpa diketahui oleh Valerie. Akhirnya Wilson berjuang mati-matian untuk membuktikan kebenaran menyangkut dirinya dan istrinya yang merupakan agen rahasia CIA.
Sebagian besar warga negara Amerika terlanjur termakan oleh isu yang dibuat oleh pemerintah dan George W. Bush yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden Amerika. Perjuangan Wilson terasa sangat berat karena hampir tidak ada yang mempercai dirinya dan istrinya. Wilson bahkan dituduh hanya mencari popularitas dibalik kasus yang menimpa dirinya dan istrinya. Ditambah lagi Valerie tidak mendukung Wilson dalam membeberkan kebenaran. Valerie yang pada saat itu sudah sangat rapuh akhirnya pasrah menerima keadaan dirinya dan keluarganya yang menjadi hancur lama kelamaan.
Namun pada suatu titik akhirnya Valerie mulai terbuka mata, hati, dan pikirannya setelah dia menenangkan diri di rumah orangtuanya. Dia sadar dan kembali bangkit dari keterpurukan yang melanda dirinya dan keluarganya."

Fair Game berhasil membawakan kisah nyata yang dialami oleh Valerie dan keluarga ke dalam layar besar. Plot cerita film ini disajikan berdasarkan kurun waktu, membuat penonton menjadi semakin mudah mengikuti jalan cerita. Namun sayangnya, plot cerita Fair Game sebenarnya cukup berat untuk disaksikan oleh orang awam seperti saya. Jujur saja, saya sebelumnya tidak mengetahui kisah mengenai Valerie. Jadi dalam mengikuti film ini terkadang saya agak-agak loading. Hal ini dikarenakan dari awal film ini sampai pertengahan alurnya berjalan lambat. Namun ketika akhirnya film ini mulai sampai ke akhir cerita mulai terkuak lah segala misteri yang ada di kepala saya. Jadi, Liman berhasil membuat film ini menjadi mudah untuk diikuti oleh orang awam. Dia berhasil membuat akhir bagian film menjadi bagian yang sangat penting dan klimaks.
Walau terasa sedikit sulit diikuti di awal film, Fair Game tertolong dengan sinematografi yang baik. Dari satu adegan ke adegan lain terasa natural dan mengalir, dan juga berhasil menuangkan gambaran jelas di setiap adegan sehingga sangat membantu plot cerita yang ada.

Kekuatan akting dari para bintangnya juga menjadi suatu nilai lebih tersendiri. Lagi-lagi Sean Penn bermain dengan sangat baik memerankan karakter Joe Wilson. Pasti dia sangat bangga karakternya dimainkan oleh salah satu aktor hebat Hollywood. Sean Penn selalu memiliki penghayatan yang baik dan maksimal di setiap peran yang dia mainkan. Kali ini saya juga kembali teringat dengan akting dia ketika di I Am Sam (2001) dan Mystic River (2003). Saya sangat terpukau dengan penghayatan dia kedua film itu. Fair Game memang tidak 'se-wah' kedua film yang saya sebutkan itu, tapi dengan kekuatan akting Penn di sini berhasil membawa Fair game menjadi sajian yang enak untuk diikuti. Penn tentu saja tidak sendiri di sini. Naomi Watts juga memiliki andil yang besar dalam kelayakan film ini. Watts juga berhasil memerankan karakter Valerie Plame dengan sangat baik. Dia berhasil memunculkan setiap emosi yang dirasakan Valerie kepada penonton dengan baik. Watts juga berhasil memunculkan chemistry antara dia dengan Penn. Mereka bermain dan menyatu dengan baik. Mereka juga mampu memunculkan pengorbanan sebuah keluarga demi mempertahankan keutuhan dan nama baik keluarga.

Bagi Anda yang ingin mengetahui sepak terjang Bush dalam memanipulasi rakyatnya sendiri maka Fair Game layak Anda saksikan.

Happy Watching...




REVIEW: LONDON BOULEVARD (2011)

| 0 komentar

London Boulevard dibintangi oleh salah satu aktor dan aktris favorit saya, yaitu Colin Farrell dan Keira Knightley. Melihat poster film dan jajaran bintang yang terdapat di film ini membuat saya mempunyai ekspektasi yg 'berlebihan' terhadap film ini. Apalagi jika dilihat nama sutradara dan penulis naskah yang dibebankan kepada William Monahan. Monahan telah membuktikan kemampuannya yang mumpuni sebagai penulis naskah di beberapa film-film hebat, sebut saja Edge of Darkness, Body of Lies, dan The Departed. Maka wajar rasanya jika saya mengharapkan London Boulevard merupakan sajian yang enak untuk dinikmati. Namun lagi-lagi seperti para penulis naskah lainnya yang juga mencoba menjadi sutradara, Monahan harus lebih sadar diri kalau dirinya memang kurang berbakat untuk duduk di kursi sutradara.

"Mitchell (Colin Farrell) adalah seorang narapidana yang baru saja keluar dari penjara dan merasa bingung untuk menentukan jalan hidup sekeluarnya dari penjara. Mitchell akhirnya ditawari untuk kembali ke masa lalunya menjadi seorang gangster yang sangat disegani. Tawaran itu berasal dari salah satu boss gangster, Gant (Ray Winstone) yang paling ditakuti di daerah tempat tinggalnya. Namun sesaat sebelum dia ditawari untuk kembali menjadi seorang gangster, Mitchell telah terlebih dahulu memutuskan untuk bekerja menjadi body guard seorang aktris yang sedang terkenal, Charlotte (Keira Knightley) dan selalu dikelilingi oleh paparazi sepanjang hari. Mitchell bukan hanya bingung menentukan masa depan jalan hidupnya, dia juga sedang dikejar-kejar oleh seorang polisi, DI Bailey (Eddie Marsan), yang terus menerus berusaha untuk memeras dirinya."

London Boulevard diangkat dari novel yang ditulis oleh Ken Bruen dengan judul yang sama. Monahan berhasil menampilkan sajian yang menarik selama 20 menit di awal film. Adegan awal yang dibuka dengan Mitchell yang baru saja bebas dari penjara (tepat sekali dengan menempatkan Colin Farrell yang terlihat tampan dan mempesona di film ini berhasil menjadi salah satu daya tarik tersendiri). Mitchell terlihat sangat mandiri dan sosok yang kuat, baik fisik maupun mentalnya. Ditambah lagi ketika akhirnya tokoh Charlotte yang muncul dari awal film dimulai. Charlotte yang terlihat sangat rapuh membuat penonton menjadi berpikir dia akan sangat cocok dengan karakter Mitchell yang kuat. Chemistry antara Farrell dan Knightley pun terjalin dengan baik, walaupun mereka tidak terlibat banyak kontak fisik satu sama lain. Ini merupakan bagian film yang paling terasa kuat.

Sayangnya, setelah 20 menit itu penonton disajikan tontonan yang semakin melambat alur ceritanya. Setiap adegan terasa lama dan sangat tidak kuat. Hal ini membut penonton menjadi jenuh. Setelah di 20 menit awal disjaikan sebuah tontonan yang 'sepertinya' menjanjikan namun tidak begitu kenyataannya. Plot cerita yang tidak kuat membuat sinematografi yang dihasilkan menjadi terasa sangat kurang. Salah satu sinematografi terbaik yang ada di film ini adalah sang sinematografernya mampu menangkap gambaran kota London dengan sangat cantik dan berseni, baik di siang hari maupun di malam hari. Secara keseluruhan sebenarnya menurut saya cerita yang ditawarkan film ini tidak penting, bertele-tele, dan terlalu berputar-putar.

Kekuatan akting dari para pemainnya yang sebenarnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya akhirnya tidak mampu membawa film ini menjadi suatu sajian yang enak untuk dinikmati. Plot dan alur yang terasa sangat mengecewakan namun sedikit tertutupi dengan chemistry yang timbul antara Farrell dan Knightley, selain itu naskah pun memiliki cukup andil yang lumayan, tidak bagus-bagus amat tapi juga tidak mengecewakan. Namun lagi-lagi hal yang sangat disayang terjadi lagi, Monahan tida mampu menjaga kestabilan cerita romansa dalam film ini. Dengan semakin banyaknya karakter yang muncul di tengah-tengah film, terutama kawanan gangster yang dikepalai oleh Grant, justru sampai akhir film kawanan gangster ini lah yang memenuhi setiap adegannya. Nuansa romansa yang awalnya terlihat seperti menjanjikan ternyata meluap begitu saja dengan semakin lama film ini berjalan.

Film ini menjadi salah satu tontonan yang buruk sepanjang film-film di 2011 yang telah saya saksikan (maaf..)
Anyway,

Happy Watching....





It's About What???

2006 (3) 2007 (1) 2008 (5) 2009 (4) 2010 (37) 2011 (43) 3D (4) Academy Awards (2) Action (13) Adam Sandler (1) Adventure (1) Alex Pettyfer (1) Amanda Seyfried (3) Amber Heard (2) Amy Adams (1) Andrew Garfield (1) Angelina Jolie (1) Anne Hathaway (2) Ashton Kutcher (1) Asian (6) Ben Affleck (2) Ben Stiller (1) Biography (4) Blake Lively (1) Bruce Willis (2) Cam Gigandet (1) Cameron Diaz (1) Chloë Moretz (1) Chris Cooper (1) Chris Pine (1) Christian Bale (1) Christina Aguilera (1) Christina Ricci (1) CIA (1) Colin Firth (1) Comedy (10) Crime (11) Dakota Fanning (1) Dance (1) Daniel Radcliffe (1) Denzel Washington (1) Documenter (1) Drama (49) Drew Barrymore (2) Dustin Hoffman (1) Dwayne Johnson (1) Education (1) Emma Roberts (1) Emma Watson (1) Erotic (1) Facebook (2) Family (16) Fantasy (11) Fiction (4) Game (1) Game Online (1) Geoffrey Rush (1) Gerrard Butler (1) Halle Berry (1) Han Ji-Hye (1) Hayden Panettiere (1) Helena Bonham-Carter (1) History (1) Horror (20) India (1) Jake Gyllenhaal (1) Jalan-jalan (1) Jason Statham (1) Jennifer Aniston (1) Jennifer Lopez (1) Jepang (2) Jesse Eisenberg (2) Jessica Alba (1) Johny Depp (1) Josh Duhamel (1) Julia Roberts (1) June (1) Justin Long (2) Justin Timberlake (1) Kate Beckinsale (1) Katherine Heigl (1) Keira Knightley (1) Kevin Costner (1) Kristen Bell (2) Lee Chun-Hee (1) Lee Hwi-Hyang (1) Leighton Meester (1) Liam Neeson (1) Life As We Know It (2) Lippo Cikarang (1) Little Fockers (1) Logan Lerman (1) Ludacris (1) March (1) Mark Wahlberg (1) Mark Zuckerberg (1) Mary-Kate Olsen (1) Michelle Williams (1) Mila Kunis (1) Morgan Freeman (1) Movie (64) Movie Release (3) MTV Movie Awards (1) Musical (1) Mystery (11) Naomi Watts (1) Natalie Portman (2) Nicholas Cage (1) Nicole Kidman (1) November (1) Oscar (2) Owen Wilson (2) Psikologis (3) Ray Winstone (1) Rebeca Hall (1) Review (61) Robert De Niro (2) Romance (14) Rosario Dawson (1) Rupert Grint (1) Russel Crowe (1) Ryan Gosling (1) Ryan Reynolds (1) Sam Rockwell (1) SciFi (3) Sean Penn (1) South Korea (3) Sport (1) Synopsis (10) Thailand (1) Thriller (25) Tommy Lee Jones (1) Vanessa Hudgens (1) Waterboom (1)

Count Me In....

Diberdayakan oleh Blogger.
 
blog-indonesia.com